Bagaimana menjawab tantangan pengobatan TB-MDR dan HIV di Indonesia?

Ilustrasi | lifeextension.com

Oleh : Ita Perwira

Penyakit Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu isu prioritas penyakit menular secara global. Berdasarkan Global Tuberculosis Report tahun 2015 yang dikeluarkan oleh WHO, pada tahun 2014, ada sekitar 9.6 juta kasus TB (incidence[1]. Indonesia dengan perkiraan jumlah penduduk 254 juta menyumbang sekitar 1 juta[2] kasus TB yaitu 10% dari jumlah total global. Angka tersebut merupakan yang tertinggi kedua setelah China yang menyumbang 25% dan sejajar dengan India yang juga menyumbang 10%.

Sementara untuk kasus TB-MDR, Indonesia juga merupakan salah satu dari sepuluh besar negara-negara dengan kasus tertinggi secara global. TB-MDR adalah bentuk spesifik dari penyakit TB dimana kuman resisten terhadap setidaknya dua jenis dari obat anti tuberkulosis (OAT) yang utama yaitu Isoniazid (H) dan Rifampicin (R). Dari sekitar 480.000 kasus TB-MDR yang diperkirakan pada tahun 2014, baru sekitar 123.000 kasus yang terdeteksi dan dilaporkan secara global, atau hanya sekitar seperempat dari perhitungan estimasi global. Sementara di Indonesia angkanya jauh lebih kecil yaitu dari angka estimasi sekitar 22.000 kasus, baru sekitar 1.800 kasus TB-MDR yang ditemukan dan dilaporkan pada tahun 2014[3]. Meskipun bila dilihat perkembangan program TB-MDR secara global termasuk di Indonesia semakin meningkat dari tahun-ketahun namun, capaian yang ada saat ini masih sangat jauh dari yang diharapkan.

Selain itu, TB merupakan salah satu penyakit koinfeksi HIV yang paling banyak. Oleh karena itu beban dari penyakit TB dan HIV cukup besar yaitu estimasi  tingkat mortalitas (hanya TB-HIV) sekitar 22.000 (8.5 per 100.000) dan angka insidens untuk TB-HIV (saja) sekitar 1000 (399 per 100.000) berdasarkan laporan profil negara Indonesia untuk penyakit TB kepada WHO tahun 2014.

Tantangan TB-MDR dan HIV

Dari beberapa angka yang disajikan diatas menunjukkan bahwa program penanggulangan TB khususnya TB-MDR masih sangat besar di Indonesia. Tantangan yang pertama adalah pada deteksi kasus TB-MDR, dimana sudah sedikit di bahas pada pendahuluan diatas bahwa, cakupan deteksi untuk TB-MDR masih sangat rendah dari jumlah estimasi. Tantangan yang berikutnya adalah pada pengobatan TB-MDR, dimana jumlah pasien yang masuk dalam pengobatan TB-MDR juga masih sangat rendah. Pada tahun 2014, dari sekitar 1.800 orang yang terdeteksi positif TB-MDR hanya sekitar 1.300 yang masuk dalam perawatan.

Kasus RR/TB-MDR Total
Jumlah yang di periksa RR/TB-MDR 9.503
Kasus RR/TB-MDR yang positif 1.812
Jumlah pasien yang memulai pengobatan TB-MDR 1.284

Keterangan: RR adalah Resisten Rifampicin

Salah satu penyebab rendahnya jumlah pasien yang masuk dalam pengobatan adalah karena akses layanan untuk TB-MDR masih sulit. Belum semua daerah dan layanan kesehatan mampu memberikan pengobatan ini. Selain itu, pengobatan TB-MDR memakan waktu jauh lebih lama dibandingkan TB biasa yaitu mencapai 19-24 bulan sehingga membutuhkan komitmen panjang. Selain itu, proses persiapan sebelum memulai pengobatan juga cukup panjang untuk memastikan bahwa kondisi pasien memenuhi syarat secara klinis untuk memperoleh OAT.

Setelah masuk pengobatan, permasalahan tidak berhenti sampai disitu saja. Tingkat keberhasilan pengobatan TB-MDR jauh lebih rendah dibandingkan dengan pengobatan TB biasa. Di Indonesia, dengan peningkatan jumlah deteksi dan kasus positif yang ditemukan dan masuk pengobatan, angka keberhasilannya justru semakin turun dari tahun ke tahun. Hal tersebut salah satunya seperti disebutkan diatas adalah karena pengobatan yang cukup panjang dan pada tahap awal pengobatan yaitu 4-6 bulan pasien harus disuntik setiap hari sehingga pasien harus selalu datang ke tempat layanan kesehatan yang ditentukan. Untuk beberapa orang, akses ke layanan kesehatan ini membutuhkan biaya dan waktu yang cukup memberatkan. Selain itu, pengobatan TB-MDR juga memberikan efek samping yang jauh lebih berat dibandingkan dengan OAT biasa. Efek sampingnya bisa bervariasi pada masing-masing individu, mulai dari ringan sampai dengan berat. Pada beberapa kasus, pasien sama sekali tidak bisa beraktifitas sehingga pasien tidak dapat bekerja. Beberapa faktor tersebut menjelaskan tingginya angka loss to follow up pada pengobatan TB-MDR.

Berbagai tantangan tersebut pada kasus koinfeksi dengan HIV maka tantangannya menjadi berlipat ganda ditambah dengan tantangan yang ada pada program penanggulangan HIV dan AIDS. Tantangan untuk HIV tidak dibahas detail disini, namun secara garis besar keduanya memiliki tantangan yang hampir sama yaitu permasalahan pada peningkatan cakupan untuk pemeriksaan pada populasi berisiko, masih rendahnya jumlah yang masuk pengobatan pada mereka yang sudah terkonfirmasi positif melalui pemeriksaan laboratorium dan tingkat kepatuhan berobat yang berdampak pada keberhasilan pengobatan.

Pilihan respon yang dapat dikembangkan untuk menjawab tantangan

Program penanggulangan HIV dan TB di Indonesia saat ini masih berjalan secara paralel meskipun saat ini sudah mulai dikembangkan dan dilaksanakan  program kolaborasi TB-HIV. Salah satu bentuk respon yang dilakukan adalah melalui layanan komprehensif berkelanjutan (LKB) yang mengedepankan layanan satu atap untuk mempermudah akses layanan serta mulai mengusung konsep pendekatan komunitas. Namun implementasinya di lapangan, pendekatan ini belum cukup efektif dan belum menunjukkan hasil yang maksimal. Ide dan konsep layanan TB-HIV yang terintegrasi (antar program) dan juga kedalam sistem kesehatan adalah penting untuk mencapai target program secara khusus dan target global yaitu universal health care (UHC).

Salah satu komponen yang seharusnya dipertimbangkan untuk dikembangkan lebih jauh adalah pendekatan komunitas. Beberapa penelitian telah menunjukkan keberhasilan dalam program penanggulangan berbasis komunitas untuk program HIV[4] atau TB[5](saja) atau pun kolaborasi TB-HIV[6]. Layanan berbasis komunitas ini juga diharapkan dapat mengurangi beban (dari sisi biaya dan sumber daya manusia) serta meningkatkan cakupan karena akses layanan menjadi jauh lebih dekat kepada masyarakat.

Salah satu contoh layanan terintegrasi dengan pendekatan komunitas yang mengembangkan layanan berbasis rumah adalah layanan TB-MDR dan HIV yang dilaksanakan di wilayah pedesaan di Kwazulu-Natal, Afrika Selatan. Di daerah pedesaan tersebut dikembangkan pusat layanan kesehatan masyarakat yang terdesentralisasi (semacam Puskesmas yang bisa melayani pengobatan TB-MDR dan HIV) dengan tenaga kesehatan dan fasilitas yang memenuhi syarat. Pelaksanaan perawatan tidak dilakukan terpusat di fasilitas layanan kesehatan melainkan berbasis rumah dengan dukungan komunitas untuk pasien TB-MDR dan HIV. Perawat, petugas kesehatan masyarakat (kader), dan keluarga diberikan informasi dan pendidikan terkait TB-MDR dan HIV agar dapat memberikan dukungan kepatuhan dalam berobat. Selain itu sebagai pengawas minum obat OAT dan ARV, mereka juga bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan intensif atas reaksi yang merugikan terhadap obat (adverse reaction). Khusus untuk fase awal, petugas kesehatan akan berkunjung setiap hari untuk memberikan suntikan sebagai bagian dari pengobatan TB-MDR. Pemeriksaan oleh dokter sebulan sekali di pusat layanan kesehatan masyarakat untuk menilai respon klinis, kepatuhan dan beratnya adverse reaction atas terapi TB-MDR dan HIV, serta berbagai pemeriksaan laboratorium lainnya. Hasil pengobatan dinilai setiap bulan melalui pemeriksaan kultur dan CD4 serta viral load setiap enam bulan sekali.

Hasil awal dari pelaksanaan layanan integrasi TB-MDR dan HIV berbasis rumah tersebut menunjukkan hasil yang cukup baik yaitu 77% sembuh dari total 80 pasien yang dirawat dan masih dalam pengobatan dengan 82% viral load tidak terdeteksi. Layanan TB-MDR dan HIV yang terintegrasi dan berbasis rumah merupakan model pengobatan yang cukup menjanjikan untuk memperluas kapasitas dan mencapai peningkatan hasil di daerah pedesaan. Beberapa komponen dari layanan tersebut mungkin dapat di adaptasi dan disesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia dalam usaha untuk meningkatkan implementasi program kolaborasi TB-MDR dan HIV. Namun untuk dapat melaksanakan tersebut akses layanan yang terintegrasi antara TB-MDR di tingkat Puskesmas harus diperluas lagi termasuk peningkatan lapasitas sumber daya manusia khususnya tenaga non kesehatan. Setelah itu pengembangan konsep pendekatan komunitas yang ada pada LKB dapat dilakukan salah satunya mungkin dapat belajar dari berbagai pengalaman yang sudah dilakukan di temapat atau negara lain, salah satunya seperti contoh diatas.[IP]


[1]Incidence rate adalah jumlah kasus (penyakit) baru pada populasi berisiko pada satu waktu tertentu.
[2]Indonesia Tuberculosis Profile in WHO HQ Reports on TB Country Profile, diakses dari website: https://extranet.who.int/sree/Reports?op=Replet&name=%2FWHO_HQ_Reports%2FG2%2FPROD%2FEXT%2FTBFinancingCountryProfile&ISO2=ID&outtype=html pada tanggal 6 Juni 2016
[3]MDR-TB Country Profile, USAID Indonesia, Maret 2016.
[4]Farmer, P., Léandre, F., Mukherjee, J. S., Claude, M. S., Nevil, P., Smith-Fawzi, M. C., … Kim, J. Y. (2001). Community-based approaches to HIV treatment in resource-poor settings. Lancet, 358(9279), 404–409. http://doi.org/10.1016/S0140-6736(01)05550-7
[5]Farley, J. E., Ram, M., Pan, W., Waldman, S., Cassell, G. H., Chaisson, R. E., … van der Walt, M. (2011). Outcomes of multi-drug resistant tuberculosis (MDR-TB) among a cohort of South African patients with high HIV prevalence. PLoS ONE, 6(7). http://doi.org/10.1371/journal.pone.0020436
[6]Brust, J. C., Shah, N. S., Scott, M., Chaiyachati, K., Lygizos, M., Van der Merwe, T. L., … Gandhi, N. R. (2012). Integrated, Home-based Treatment for MDR-TB and HIV in Rural South Africa: An Alternate Model of Care. Int J Tuberc Lung Dis, 16(8), 998–1004. http://doi.org/10.5588/ijtld.11.0713.Integrated