RKUHP & Problematikanya: Implikasinya Terhadap Penanggulangan HIV & AIDS

Diskusi kultural bulan Maret diselenggarakan di Youth Center PKBI DIY tepatnya pada tanggal 2 Maret 2018. Tema tersebut di atas diambil karena adanya keprihatinan adanya beberapa pasal di dalam RKUHP yang sangat tidak mendasar dan berpotensi menimbulkan implikasi yang tidak baik. Istilah yang tepat untuk ini adalah ‘pasal karet’ di dalam RKUHP.

Sebenarnya, beberapa kajian telah dilakukan untuk mencermati beberapa pasal yang berpolemik tersebut, namun demikian ternyata masih memerlukan upaya yang lebih lagi agar pengambil kebijakan mau mengindahkan rekomendasi yang telah dirumuskan dari hasil beberapa kajian tersebut. Forum Diskusi Kultural AIDS Yogyakarta (FDKAY) mencoba ambil bagian untuk mendiskusikan hal ini bersama dengan anggota jaringan, dengan harapan mampu merumuskan tindak lanjut konkrit perbaikan RKUHP serta sebagai upaya penggalangan kekuatan untuk menolak pengesahan RKUHP jika tidak ada upaya perbaikan dulu.

Pemantik diskusi yang hadir dalam kesempatan ini adalah Rimawati dari Fakultas Hukum UGM dan Prof. Irwanto yang merupakan Ketua Program Studi S-3 Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta. Dari sisi hukum, Rimawati menyoroti bahwa memang ada ‘perluasan’ pada beberapa pasal di dalam RKUHP. Seperti misalnya pada Pasal 481 dan 483, bahwa setiap orang yang melakukan sosialisasi alat untuk mencegah kehamilan dapat dipidana. Sosialisasi ini hanya dapat dilakukan oleh petugas yang berwenang terkait dengan keluarga berencana dan pencegahan penyakit menular. Tentu saja hal ini tidak sejalan dengan upaya penanggulangan HIV & AIDS selama ini, dimana petugas lapangan bisa secara leluasa mempromosikan penggunaan kondom untuk pencegahan HIV dan IMS. Lalu kenapa pasal ini muncul? Para pemangku kepentingan yang terkait perlu duduk bersama untuk menyikapi hal ini. Selain kedua pasal tersebut, Pasal 484 juga berpotensi multitafsir. Dinyatakan di dalam pasal tersebut bahwa laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat pernikahan yang sah dan telah melakukan persetubuhan maka bisa dipidana karena zina dengan ancaman penjara paling lama 5 tahun. Lalu bagaimana nasib perempuan korban pemerkosaan? Apakah juga akan dipidana? Pasal ini perlu diperjelas konteksnya atau dihilangkan saja karena bisa berakibat multitafsir.

Dari sisi sosiologis, Prof. Irwanto dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta menuangkan pemikirannya tentang polemik RKUHP di Harian Kompas (terbit 1 Maret 2018) dengan judul “RUUHP Bom Waktu Politik”. Dalam ulasannya, beliau menyatakan bahwa yang tidak kita baca dengan baik adalah the cultural of law nya, mau dibawa ke mana undang-undang ini secara kultural. Dalam hal ini tentu kultural politik. Undang-undang ini sebenarnya bukan barang baru, RUU nya juga bukan barang baru. Upaya revisi juga sudah dilakukan  kurang lebih 19 sampai 21 kali. Selama kurun waktu tersebut, belum ada yang mengajukan ke DPR untuk disahkan. Baru pada masa pemerintahan Jokowi rancangan undang-undang ini diajukan ke DPR untuk disahkan. Dan yang agak mengherankan adalah lawan-lawan politik pemerintahan Jokowi, tidak ada reaksi apapun mengenai RKUHP tersebut, seakan mereka menerimanya dengan baik. Sebelumnya, sekitar periode tahun 2015-2017 isu LGBT, zina, PKI santer sekali digaung-gaungkan oleh beberapa pihak. Situasi ini diibaratkan oleh Prof. Irwanto sebagai “gendang politik”. Lalu, sebenarnya akan ke arah mana cultural of law nya dari RKUHP tersebut ketika ada salah satu pendapat yang menyeruak di tengah pro dan kontra ini bahwa mungkin lebih baik kita ‘dimusuhi’ oleh masyarakat internasional karena melanggar HAM daripada pemerintahan dimusuhi oleh masyarakatnya sendiri karena melanggar ‘agama’. Hal ini sangat memprihatinkan, bukan?

Tanggapan dari peserta diskusi atas situasi ini, lalu apa yang sebaiknya dilakukan? Apakah menunggu saja sampai ada uji materi RKUHP di MK? Atau kita akan mengulur-ulur waktu saja supaya RKUHP tersebut tidak jadi disahkan? Atau kita akan langsung menolaknya? Tanggapan lain yang muncul terkait dengan implikasi yang bisa terjadi dari penerapan Pasal 481 dan 483 mengingat selama ini progam dari Dinkes banyak melibatkan jejaring dari LSM dan masyarakat (kader) untuk membantu beberapa progam Dinkes. Selain itu, keberlanjutan outlet kondom ke depannya lalu bagaimana? Mungkin perlu ada penyampaian bukti-bukti empiris untuk ‘melawan’ isi dari Pasal 481 yang tidak berdasar tersebut. Beberapa instansi yang melibatkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan beberapa program yang notabene non kesehatan terbukti efektif selama ini. Selain itu, isi dari pasal tersebut tidak tepat karena aturan dari Kementerian Kesehatan pun juga mengharapkan adanya peran serta stakeholder dan masyarakat yang bukan ansih tenaga kesehatan.

Dinamika politik dalam pengesahan RKUHP ini sangat tinggi sehingga cukup sulit untuk menebak apa yang akan terjadi dalam bulan-bulan ke depan. Tugas dari masyarakat sipil sebenarnya mencermati dinamika tersebut dan secara bersama-sama bisa menyampaikan aspirasinya melalui jaringan masyarakat yang telah bekerja untuk advokasi, baik di parlemen atau di birokrasi. Tetapi yang jelas dari diskusi yang muncul masih banyak ruang-ruang yang memungkinkan intepretasi yang luas dan terbuka atas pasal-pasal yang ada dan sekaligus memunculkan ancaman pemenjaraan yang lebih banyak dibandingkan dengan KUHP sebelumnya.

Penulis : Rizal