Seminar Nasional IndoHCF IV Hari I
Jakarta, 25 – 26 April 2018
Acara pada hari pertama dibuka oleh Dr Nafsiah Mboi, SpA (mantan Menteri Kesehatan) dengan menyampaikan beberapa poin kunci yaitu bahwa terselenggaranya JKN telah memulai momentum baru untuk pelayanan kesehatan di Indonesia. Ini mendorong demand yang lebih tinggi terhadap kebutuhan obat-obatan dan alat kesehatan. Inpres no 6 Tahun 2012 telah memberi dorongan untuk pertumbuhan industri farmasi dari Rp 2.6 trilyun (2014-2015) menjadi Rp5.38 trilyun (2016-2017) dan industri alkes Rp 718 milyar (2014-2015) menjadi Rp 3.91 trilyun (2016-2017). Kebutuhan ini diperkirakan akan semakin besar, mengingat JKN diharapkan akan menyediakan layanan kesehatan semesta. Disrupsi ini memungkinkan munculnya business model yang baru, khususnya dimungkinkan oleh teknologi. Nafsiah Mboi juga menyatakan bahwa penyelenggaraan IndoHCF (seminar dan award terhadap inovasi-inovasi di bidang layanan kesehatan) adalah salah satu bentuk penggunaan dana CSR yang perlu dicontoh, agar dunia usaha juga berkontribusi terhadap pembangunan sektor kesehatan.
Peta Pembiayaan Kesehatan di Indonesia: Capaian dan Tantangan
Prastuti Soewondo, SE, MPH, PhD menyampaikan peta pembiayaan kesehatan sebagai berikut:
- Indonesia menempati ranking rendah dalam belanja kesehatan (USD122 per kapita, sekitar 3,4% dari GDP) yang berada di bawah rata-rata belanja negara-negaralow middle income country atau LMIC (USD132 per kapita). Hal ini kurang kondusif khususnya dalam era di mana negara memiliki double burden of disease dan pertumbuhan tren penyakit kronis.
- UU No 36 Tahun 2009 mengharuskan pemerintah pusat mengalokasikan setidaknya 5% dari total APBN untuk kesehatan (di luar gaji), namun, pertumbuhan belanja kesehatan di Indonesia proporsi belanja kesehatan Indonesia cenderung landai di 3.2%-3.6% sejak dekade lalu.
- Proporsi belanja pemerintah (Pusat dan Daerah) meningkat dari 28.1% (2010) menjadi 40.7% (2016) sementara OOP turun dari 56.7% (2010) menjadi 45.19% (2016), mengindikasikan adanya investasi pemerintah yang semakin besar dan penurunan OOP setelah adanya perlindungan melalui JKN. Dari total belanja kesehatan publik, sekitar 34.7%nya adalah dana JKN.
- Belanja kesehatan pemerintah untuk sisi provider menunjukkan bahwa 51.4% digunakan oleh rumah sakit, sementara sisanya untuk ambulatory care termasuk untuk FKTP. Belanja untuk preventif promotion hanya 5.7% yang adalah primary prevention (bukan di secondary prevention dan tertiary prevention).
- Data investasi untuk promotion-preventif, research, pelatihan dan human capital dari pihak swasta belum dapat ditampilkan karena tidak tersedianya data dari pihak swasta.
Prastuti menutup presentasiya dengan mengingatkan bahwa tantangan ke depan adalah: “Spend more, spend right and spend better”, artinya memberikan investasi yang lebih besar di area yang memberi return yang lebih besar, yaitu promotif-preventif.
Harapan Peran Pemerintah dalam Mendorong Industri Kesehatan di Indonesia
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD menyampaikan
- Tantangan 1: Apakah 219 juta jiwa penduduk memiliki akses yang sama ?Laksono menyatakan bahwa 3 RS baru yang akan dibangun ternyata didanai pinjaman Bank Dunia, artinya pemerintah pusat belum memberikan investasi yang cukup untuk memperbaiki sisi supply.
- Tantangan 2: Apakah subsidi pemerintah memang ditujukan untuk orang miskin?Sistem single pool disinggung sebagai sistem pooling yang berisiko tinggi terhadap inequity karena dana untuk PBI kemungkinan justru terpakai untuk membiayai layanan yang hanya diakses oleh PBPU. Defisit BPJS (yang sebagian besar belanjanya adalah di RS) mengindikasikan bahwa sistem klaim INA CBGs yang bersifat unlimited juga memungkinkan adanya inequity karena tidak adanya batas atas untuk pasien, untuk RS maupun untuk daerah tertentu. Benefit package yang terlalu lebar juga berarti bahwa hanya masyarakat dengan akses ke layanan yang komprehensif yang mendapat keuntungan. Selain itu, bila dibandingkan, Pemda di manapun membayar iuran yang besarnya sama, padahal layanan yang tersedia di satu daerah bisa berbeda satu sama lain.
- Tantangan 3: apakah sudah benar bangsa Indonesia dapat mengandalkan BPJS untuk meningkatkan pendanaan kesehatan? Rasio pajak Indonesia melemah terhadap pertumbuhan ekonomi, artinya kemampuan pemerintah untuk menyediakan subsidi bagi masyarakat miskin sebenarnya lemah. Pajak sebagai mekanisme redistribusi justru belum berlaku di Indonesia, karena porsi terbesar dari penerimaan pajak kita terbesar adalah PPN dan cukai khususnya rokok (34%) padahal rata-rata perokok adalah masyarakat miskin. Artinya diperlukan potensi-potensi pendanaan alternatif. Dengan rendahnya proporsi belanja kesehatan (3.6% dari APBN) yang masih lebih rendah dibanding mandat UU yaitu 5% berarti ada 1.4% yang belum dialokasikan untuk kesehatan. Selain itu ada potensi-potensi lain yaitu
- Menaikkan premi PBPU
- Askes swasta komersial
- Cost sharing untuk peserta PBPU
- Public private partnership
- Dana filantropisme
Laksono menutup dengan pesan bahwa industri kesehatan akan sulit untuk berkembang jika tantangan-tantangan ini tidak diatasi, dan akibat lebih besarnya adalah turunnya mutu kesehatan.
Tantangan Pertumbuhan Industri Pelayanan Kesehatan di Indonesia
Daniel Budi Wibowo dari PERSI mempertanyakan apakah industri pelayanan kesehatan akan tumbuh di masa depan. Sektor swasta tumbuh sekitar 15% per tahun, sementara sektor publik hanya tumbuh 4% per tahun. Sementara dari sisi pertumbuhan TT, region 1 (Jawa) lebih rendah dibanding region 3 (yang didongkrak oleh tumbuhnya TT di Sumatera Utara). Namun yang perlu diperhatikan adalah kualitas rumah sakit di Indonesia disinyalir masih 50% yang substandard, artinya ada kebutuhan terhadap faskes baik untuk memenuhi kebutuhan TT mau pun untuk merebut pasar yang selama ini masih dilayani secara substandard. Selan itu masih ada kebutuhan untuk memenuhi ketersediaan klinik pratama yang saat ini masih jauh berada di bawah roadmap (1:10.000 dibandingkan 1:4000) yaitu butuh sekitar 13.000 – 16.000 klinik pratama, khususnya mengingat pilar JKN dalam pelayanan adalah penyediaan layanan di pelayanan primer.
Daniel mengutip data bahwa ada 174 industri farmasi pada tahun 2017, namun sebaliknya 80% kebutuhan alat kesehatan masih import. Trend dalam industri kesehatan saat ini adalah ke arah yang lebih efisien. Namun akibatnya industri ini sangat regulated (misalnya ada profit capping dan prospective payment). DIsinyalir akan terjadi merger dan akuisisi fasilitas kesehatan.
Daniel menutup dengan kesimpulan bahwa ada beberapa faktor pendorong industri kesehatan, yaitu faktor akses konsumen yang lebih terbuka melalui JKN dan masih banyak layanan yang belum tersedia serta meningkatnya daya beli kelas menengah, apalagi didorong oleh pertumbuhan teknologi. Namun di sisi lain ada faktor penghambat yaitu deficit JKN serta belum adanya insentif pajak untuk industri pelayanan kesehatan, padahal dibutuhkan investasi yang besar untuk menyesuaikan standar dan SDM yang kompeten. Selain itu, tarif INA CBG masih dinilai rendah. Oleh karena itu, Daniel menyarankan untuk memperluas segmen khususnya di wilayah-wilayah lain di Indonesia, mengadopsi lean management, melakukan kendali mutu kendali biaya dan kendali cash flow serta melakukan advokasi ke pemerintah.
Tantangan Pertumbuhan Industri Alat Kesehatan di Indonesia
Nugroho dari Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (ASPAKI) menyajikan beberapa fakta berikut:
- Proyeksi permintaan meningkat menjadi Rp 55trilyun (menurut olahan data BPS)
- Industri alat kesehatan tumbuh sebesar 25.3%
- Namun ada beberapa tantangan, yaitu
- Alat kesehatan impor (CIna) sering lebih murah dibanding produksi dalam negeri, akibatnya menjadi pesaing bagi produsen alkes dalam negeri.
- Proses perijinan masih rumit (khususnya sebagai produsen). Distributor alkes banyak yang sudah menginginkan untuk menjadi produsen alkes, namun proses perijinan mulai dari pembangunan pabrik hingga memulai penjualan bisa membutuhkan waktu 2 tahun. Ini termasuk UKL UPL, Ijin usaha industrI, sertifikat produksi, ijin penyalur, LKPP. Hal ini sering membuat distributor yang berminat menjadi produsen menjadi mundur.
- Butuh sinergi antara industrI alkes dan pendukungnya maupun sinergi antara aKademia dan business community. Banyak produsen merasa bahwa harus membuat alkes secara utuh, sementara produsen luar negeri banyak melakuan outsourcing sehingga bisa fokus pada komponen-komponen tertentu. Artinya, butuh sinergi dengan industri lain pendukung alkes. Di samping itu, ada jembatan yang masih hilang antara inovasi di dunia pendidikan/penelitian untuk bisa masuk ke business community.
- Indonesia masih berusaha masuk ke teknologi menengah, sementara untuk membuat alkes dengan teknologi tinggi masih belum dapat terlaksana.
Nugroho menutup dengan beberapa harapan dari APKASI, yaitu:
- Menjadi mitra pemerintah dalam mengembangkan industri alkes
- Menjadi pemain di negeri sendiri untuk memenuhi kebutuhan alkes dalam negeri
- Meningkatkan devisa melalui ekspor alkes
- Menjadi market leader dalam teknologi alkes.
Sesi diskusi pagi hari ini (25/4/2018) menyoroti beberapa komentar dari peserta:
- Odang (Institut Jaminan Sosial Indonesia) menanyakan tradeoff apakah dana iuran PBI tidak sebaiknya dipakai untuk menyediakan layanan preventif untuk orang miskin? Laksono menyatakan bahwa preventif-promotif bukan hanya tanggung jawab Kemenkes tetapi juga lintas sektor. Sehingga anggaran kesehatan memang harus tetap dialokasikan secara berimbang antara preventif-promotif dengan kuratif-rehabilitatif. Selain itu, pertanyaan lebih besarnya adalah apakah industri kesehatan mendapat manfaat dari pertumbuhan ekonomi, atau sebaliknya, pertumbuhan ekonomi digunakan untuk mendukung industri kesehatan. Prastuti meyatakan bahwa sebenarnya masyarakat sudah menikmati hasil JKN, karena utilisasi meningkat baik untuk segmen atas maupun segmen bawah , walaupun segmen atas meningkat lebih tinggi dibanding segmen bawah. Tantangannya masih banyak termasuk akses dan supply side. Artinya penurunan OOP dan peningkatan utilitas sudah membuktikan adanya perbaikan, tetapi pemerintah masih punya tugas besar untuk mengatasi tantangan supply side.
- Sumaryati (Indonesian Government proJustice) mempertanyakan pemerataan layanan kesehatan di Indonesia khususnya ketersediaan obat dan SDM yang terstandarisasi. Bagaimana masa depan industri farmasi? Daniel menanggapi bahwa banyak kondisi pasar farmasi yang merusak harga obat di Indonesia (bisa sampai 32 kali lipat dari harga asli). Daniel menyatakan bahwa JKN menerapkan formularium nasional yang menggunakan e-katalog. Artinya, industri farmasi akan terpaksa merger karena banyak yang tidak bisa memenuhi harga yang ditetapkan, mengingat di atas 80% bahan baku farmasi masih impor. Industri kimia di Indonesia terlambat untuk dikembangkan sehingga Indonesia tidak bisa memiliki industri bahan baku yang memadai untuk memenuhi kebutuhan produsen obat. Sementara itu, Nugroho menambahkan bahwa sebenarnya pasar ekspor untuk alkes cukup potensial.
- Prihanto menanyakan apakah di masa depan masyarakat yang ”dipaksa” menggunakan BPJS malah mengakibatkan nanti industri asuransi komersial pun akan melemah. Laksono menanggapi bahwa layanan untuk PBPU seharusnya dibatasi, selain itu premi untuk mereka harus dinaikkan. Menurutnya, jika tidak ada batas atas layanan ini akan membahayakan kelangsungan BPJS. Laksono menegaskan bahwa cost sharing untuk PBI sama sekali tidak boleh, namun cost sharing untuk PBPU harusnya wajib. Prastuti menyatakan bahwa yang terjadi justu asuransi komersial mendapat keuntungan karena banyak masyarakat segmen atas justru mengambil asuransi komersial untuk jump the queu, menghindari antrian layanan untuk konsumen pemegang kartu BPJS.
- Nafsiah Mboi menyatakan bahwa pihaknya sudah mendengar keluhan sejak lama, tetapi Nafsiah berharap muncul dari paparan dan diskusi adalah: apa kontribusi dan transformasi yang bisa diberikan untuk mendorong industri kesehatan. Apakah pernah dipertimbangkan optimalisasi BPJS yang bisa dilakukan? Daniel menyatakan bahwa jawabannya adalah industri kesehatan harus memanfaatkan jaringan atau konsorsium. Sementara di lain pihak, BPJS tidak boleh dibiarkan menjadi monopsony (semacam monopoli). Cost sharing dimungkinkan bila JKN hanya menyediakan “paket manfaat dasar”, bukan layanan komprehensif seperti saat ini, kecuali untuk masyarakat miskin. Prastuti menanggapi bahwa Inpres 8/2017 mendorong K/L dan pemerintah daerah berkontribusi untuk pemerataan akses. Selain itu, TNP2K sedang menyiapkan model untuk penghitungan ekonomi JKN yang lebih rigid daripada model yang digunakan Kemenkes dan Kemenkeu, sehingga diharapkan diskusi bisa terjadi antara BPJS, Kemenkeu dan Kemenkes mengenai cara menangani defisit BPJS. Diskusi yang terjadi juga mengenai formularium nasional untuk obat dan untuk alkes (yang saat ini belum ada). Namun, diskusi-diskusi yang terjadi belum dapat ditindaklanjuti dan masih dalam proses.
- Indah menanyakan apakah OOP terbesar terjadi di segmen atas atau segmen bawah, dan apa trigger-nya, apakah untuk mengakses layanan di atas yang tersedia BPJS atau karena ada layanan yang memang tidak ter-covered Pertanyaan Indah yang lain adalah mengenai kelayakan meningkatkan premi PBPU mengingat hasil survei CHEPS menunjukkan bahwa saat ini PBPU yang menunggak premi ternyata masih besar sekali dan lebih dari 90% penunggak ini adalah PBPU yang berpendapatan rata-rata 3 juta per bulan. Laksono menyatakan bahwa masyarakat yang menunggak ini pun sebenarnya mempunyai spending yang tinggi untuk rokok dan hiburan, tetapi kemauan untuk spending untuk kesehatan masih rendah. Laksono menambahkan bahwa saat JKN didisain, data yang empiris belum ada, sehingga terjadi debat yang panjang mengingat kesiapan supply side untuk JKN apakah harus diterapkan serentak secara nasional atau seharusnya bertahap. Prastuti menambahkan bahwa saat ini sudah ada tim yang diinisiasi DJSN untuk menganalisis data BPJS. Namun, bahkan data BPJS yang diminta DJSN untuk menganalisis detil cost per penyakit per region agar dapat menghitung nilai keekonomian tarif dan premi BPJS justru belum dapat diakses sepenuhnya.
Reportase oleh Shita Dewi (PKMK FKKMK UGM)