Agung Wicaksana, lahir pada 15 September 2000 di Surabaya, Jawa Timur. Buku puisi mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini bertajuk Fanatorium (2017). Beberapa puisinya telah tersebar, antara lain di surat kabar Koran Tempo, Riau Pos, Fajar, Radar Mojokerto, Minggu Pagi, Radar Cirebon, Radar Tasikmalaya, Radar Madura, Radar Malang, Radar Banyuwangi, Medan Pos, laman maya Kibul.in dan Tulis.me. Puisi-puisinya menerima berbagai penghargaan, di antaranya: Nominasi Nasional lomba cipta puisi tingkat nasional Sayembara PENA Kita 2016, Penulis Puisi Terbaik lomba cipta puisi kategori pelajar tingkat nasional Festival Sastra Universitas Gadjah Mada 2017, 100 Terbaik lomba cipta puisi Bulan Bahasa tingkat ASEAN Universitas Negeri Sebelas Maret 2017, Best 100 Work within of The 2nd ASEAN Poetry Writing Competition IAIN Purwokerto 2017, Promising Writer Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2017, 10 Naskah Terbaik Wakatobi Festival 2018, dan juara 5 lomba cipta puisi tingkat nasional Tulis.me 2019. Tahun 2018 Agung mengikuti Temu Penyair Asia Tenggara di Padang Panjang, Kemah Sastra Senyum Lembah Ijen di Banyuwangi, dan Festival Sastra Pematang Siantar. Biografi penulis masuk ke dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia tahun 2017. Puisi-puisinya terkumpul ke antologi puisi: kumpulan karya pemenang Sebuah Cerita tentang Menangkap (2016), Meditasi Tulang Rusuk (2016), kumpulan puisi HUT Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara (2017), Surat Tentang Harapan yang Abadi, editor: Eka Budianta (2017), antologi puisi Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival The First Drop of Rain (2017), kumpulan sajak penyair ASEAN-2 Pesan Damai Aisyah, Maria, Zi Xing (2018), antologi Puisi Pematang Siantar (2018), antologi puisi nusantara Senyuman Lembah Ijen (2018), antologi puisi TPAT Padang Panjang Epitaf Kota Hujan (2018), dan Laki-laki yang Ingin Jadi Ikan (2019). Agung tergabung ke dalam beberapa komunitas sastra seperti COMPETER Indonesia, Dapur Sastra Jakarta, dan Deo Gratias.
“Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang”
(Karya W.S. Rendra)
Tuhanku, WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara Waktu itu,
Tuhanku, perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
Malam dan wajahku adalah satu warna
Dosa dan nafasku adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
Apa yang bisa diucapkan oleh bibirku yang terjajah?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai mendekap bumi
yang mengkhianatiMu, Tuhanku.
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
_____ Mimbar Indonesia Th. XIV, No. 25 18 Juni 1960
kuhadang matahari
(Darman Moenir)
karena hari seperti ini juga
lihatlah bayang-bayang kita yang kian paniang
seperti menghapus jejak yang tak ada kita tinggalkan
kuhadang matahari karena tidakjuga berkabar
seperti kau dahulu ada bertanya, “kata siapa ?”
dan bila matahari telah bertanya pula seperti itu
ke mana mata kita pandangkan lagi
sementara hari larut, senja pun susut
Ahmad Arief Ma’ruf (Arief) lahir pada 19 Agustus 1967 di Plosokuning, Sleman. Meraih Magister pada bidang Psikologi Pendidikan Islam di UMY dan bidang Psikometri di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Guru madrasah yang juga merangkap sebagai anggota Badan Akreditasi Nasional (BAN) ini tinggal di Plosokuning, Minomartani, Ngaglik, Sleman. Dua buah novelnya telah diterbitkan oleh pemerintah dengan tiras 80 ribu eksemplar. Sementara itu puisi-puisinya pernah diterbitkan oleh Fakultas Sastra UGM (Antologi Jembatan) dan Jamaah Shalahuddin UGM (Antologi Hijrah).
Sorban dan Takbir
Ahmad Arief Ma’ruf
Diponegoro bersorban
Kharismatik, musuh segan
Keris terhunus di garis depan
“Usir Si Kapir, perampas tanah leluhur,” ujar Tuan
Tuanku Imam Bonjol bersorban
Api juang berkobar tak terpadamkan
Bertaruh nyawa di medan palagan
Lawan, lawan, dan lawan.
Kyai Mojo, Sentot Prawirodirjo, Tuanku Tambusai
Panglima perang terdahsyat ahli strategi
Hadratusysyaikh Hasyim Asy’ari,
Jaga Merah Putih, jaga NKRI
Mereka bersorban bukan lantaran kearab-araban
Simbol suci derap perjuangan
Perang sabil lawan penjajahan
Mereka bertakbir bukan karena latah
Inilah marwah juang yang lillah
Takbir…
Usir dan usir penjajah kafir
Berjuang selama darah mengalir
Hingga hembus nafas terakhir
Maguwoharjo, 31 Juli 2019
Catatan:
Para pahlawan kita seperti Diponegoro, Imam Bonjol, Tjut Njak Dieh, dan lain-lain biasa menyebut “Kafir”, “Kapir”, atau “Kape” untuk menyebut Penjajah Belanda atau Kompeni.
Agustina Thamrin Instruktur paduan suara Buku antologi tunggal, MEMBELAH DADA BANJARBARU , 2016. MANTRA MALAM, 2018 puisi² juga ikut dalam antologi bersama, al : DNP ( Negeri Laut, Negeri Bahari, Nageri Awan ) PMK, Memo Wakil Rakyat dll
ATAS KEMERDEKAAN
Puisi Sapardi Djoko Damono
kita berkata : jadilah
dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut
di atasnya : langit dan badai tak henti-henti
di tepinya cakrawala
terjerat juga akhirnya
kita, kemudian adalah sibuk
mengusut rahasia angka-angka
sebelum Hari yang ketujuh tiba
sebelum kita ciptakan pula Firdaus
dari segenap mimpi kita
sementara seekor ular melilit pohon itu :
inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah.
RAKYAT
…….Hadiah hari krida
…….Buat siswa-siwa SMA Negeri
…….Simpang Empat, Pasaman
Puisi Hartojo Andangjaya
Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan ladang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap daro cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
rakyat ialah tangan yang bekerja
Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka
Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka
Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta
Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973
Arief Budiman, lahir di Pati (Jawa Tengah) pada tanggal 28 Juni. Masa kecil hingga SMA dihabiskan di kota kelahirannya. Pendidikan formalnya jauh dari persinggungan dengan dunia sastra. Lulus S1 dan S2 dari Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik UGM. Tahun 1997, dia berhasil menyelesaikan pendidikan S3 di Tokyo Institute of Technology, Jepang. Pada tahun 2010 memperoleh SK Guru Besar (Profesor) dari Mendiknas RI. Dan saat ini masih aktif menjadi dosen di UGM.
Kedekatan dengan dunia seni sudah melekat sejak kecil, mengingat ayahnya seorang guru kesenian di salah satu SMP di Pati. Aktif menulis puisi semasa mahasiswa dan mambaca puisi di beberapa acara kemahasiswaan. Pada tahun 2015 menjadi penyunting buku “Sudut Kampus Biru: Kumpulan ceritera sehari-hari”. Sebuah buku yang berisi kumpulan ceritera inspiratif beberapa mahasiswa UGM. Pada atahun 2019, menerbitkan Kumpulan Puisi: Di antara Dua Kota (Penerbit Pustaka pelajar, Yogyakarta)
Selama menjalani pendidikan S3 di Tokyo, dibimbing oleh Prof. Masaru Ishida. Dan beruntung dia mempunyai pembimbing yang tidak hanya mengajarkan tentang bidang energi, bidang formal yang dia tekuni. Akan tetapi juga sering mengajarkan tentang seni dan budaya Jepang. Sehingga dia mengenal seni dan kebiasaan-kebiasaan baik masyarakat Jepang yang akhirnya mewarnai kehidupannya sampai sekarang. Salah satu yang dia senangi adalah Haiku. Puisi pendek tiga baris dengan pola 5-7-5 yang berisi paduan seni dan spiritualisme.
Indonesiaku
Karya: Arief Budiman
Tetesan darah para syuhada
Tersanding serpihan tulang belulang
Jadi saksi perjalanan
Tak hirau ganas timah panas
Rapikan langkah-langkah persatuan
Antar kapal merah-putih bernama Indonesia
Berlayar ke tengah samudra
Bentangkan sayap di tepian anjungan
Menyibak keras ombak kehidupan
Di atas riak-riak air tak tertahan
Berlari mengejar mentari
Bertandang pada kerlip gemintang
Mendekap rembulan sepanjang malam
Berbagi kasih saat buih melirih
Berkali berlabuh di persinggahan
Melepas sekumpulan kenangan
Meniris bayang-bayang kelam
Menjemput impian mengisi angan
Kapalpun terseret waktu
Tertatih, terenggah, tersesat
terayun deru ombak 4.0
Namun kapal harus tetap tegar
Tak boleh rebah di retakan kodrat
Maju dan terus melaju
menuju pantai harapan baru
Indonesiaku
Drs. ARIF NURCAHYO, MA (psikolog) Tempat dan tanggal lahir: Yogyakarta, 12 Agustus 1965, Pendidikan : S1, S2 Fakultas Psikologi UGM, Status keluarga : istri 1 anak 3 (Sri Laksmi Poernomo Dewi, Gumilang Cahyaning Dityo,Bagas Adhikumoro, dan Laksito Lintang Kinanthi). Aktifitas: Satpam Kampus UGM, Psikolog Polisi dan Asesor Utama Polri Psikolog Forensik dan Tim Pemeriksa Kasus Khusus, Pengurus Apsifor, Pernah jadi Dosen Honorer UAJ/Ubhara FMI dan Gerakan Tresno Aksara.
Werno telu lan sarwo telu
Arif Nurcahyo
Jejer laku,
kanggoku tansah werno telo lan sarwo telu
sepisan, jejering ibu
kapindo, jejer bapa
banjur kang kapingtelu lagi tuwuh ana aku….
Naliko aku dadi jejer kapisan,
kapindo ana awakmu, lan kaping telu dadi ana awake dewe,
werno telu lan sarwo telu, telu lan sarwa telu,
kayadene milih iki, milih kuwi utowo milih ‘kae’
ora bedo ana ing kene, ana ing kono lan ana ing mbuh ing endi papan sing dudu kene lan kono..
Jejer laku werno telu
ora bedo ngayawara URIP kang dadi URUP, kanggoku isih ono AREP sing kaping telu,
arep kang mowo karep lan tansah dadi pangarep
arep dadi uriping urup,
arep milih uruping urip, utowo
ora arep urip lan ora arep urup…?
Jejer laku sarwo telu,
kayadene piwulang sandanganing titah jarening jare,
ana blegering ratu,
ana sawijining guru, lan
ana sing macak galak dadi kecu.
nanging ono sawijining pameling eling
ora kabeh sing nyandang ratu kuwi wicaksana kayadene ratu,
ora mesti sing nyandang guru winasis kebak ilmu kayadene guru,
ana ugo kecu sing tansah welas asih merga dudu sakbaening kecu,
apa bakal atur sembah marang ratu kang sinau marang guruning poro kecu…?
kabeh kuwi werna telu,
kabeh mau sarwa telu,
kapisan ana aku,
kapindo ana awakmu, lan
kapingtelu ana sing dudu aku lan dudu awakmu.
Yogyakarta, Juli 2019
NAMA : DARWITO LAHIR : PATI, 3/2/1960 PENDIDIKAN : FK UGM 1980 RIWAYAT PEKERJAA : DIRUT RSUP DR SARDJITO
ENTAH KEMANA
Darwito
Saat embun pagi menanti kapan aku menetes
semua terdiam
tidak tahu jawabannya
hanya menanti kapan menetes atau malah menyublim
semua hanya menanti
saat mentari bertanya kapan aku terbit
semua sudah pasti
karena waktu sudah ditentukan
semua menyunggingkan senyum kegairahan
esok kehidupan akan bergulir
bergulir entah kemana
saat semua mengibarkan bendera merah putih
saat menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya
semua tahu itu tanda Indonesia masih ada
ada untuk kita
saat sang durjana menggerayang
pencoleng melenggang
penumpang gelap mengendap
perongrong mendorong dorong
menebar keonaran
untuk memuaskan nafsu angkara
dengan keanggkuhannya berteriak ; akulah jangkar kebenaran
semua diam, entah kemana…?
Bulak sumur; penghujung juli 2019
Esti Nuryani Kasam Lahir pada 13 Pebruari di Gunungkidul. Menyelesaikan SD-SMA sejak 1983-1995, tetap di Gunungkkidul. Semasa SMP hingga SMA, memenangkan berbagai lomba tulisan ilmiah dari tingkat kabupaten hingga nasional. Puisi dan artikelnya telah dimuat sejak semasa SMP. Demi memperkaya pengetahuan sastranya, tahun 2006 memasuki Fakultas Ilmu Budaya, UTY, lulus tahun 2011.
Hasil tulisannya berupa artikel, puisi, cerpen, essai dan naskah dramanya telah terpublikasi dalam media lokal, nasional maupun regional. Menjadi juri dan tutor di berbagai ajang lomba kepenulisan kreatif, essay dan pidato maupun menulis dalam Bahasa Inggris. Menjadi pemakalah di berbagai pelatihan kepenulisan.
Sejak tahun 2008 hingga saat ini, masih suntuk mengajarkan kreatif writing dari tingkat SMP hingga universitas. Keempat buku tunggalnya; Resepsi Kematian (2005), Orang Gila Dilarang Tertawa (2007, dan mengalami terbit ulang di penerbit berbeda 2014), Perempuan Berlipstik Kapur (2012), mendapat penghargaan dan pengukuhan sebagai sastrawan Yogya dari Yasayo (2012), lulus UGM tingkat master minat Sastra Inggris (2015) dan menerbitkan buku puisi Perjodohan Matahari (2015). Maret tahun 2019, buku kumpulan naskah dramanya Tembang Nusantara telah diterbitkan.
Selain itu, hingga akhir tahun 2018, EsNuKa telah membersamai, membimbing dan mengeditori buku murid-muridnya untuk ke-13 kalinya dari 6 sekolah yang selama ini menjadi tempatnya berbagi.***
TEMBANG NUSANTARA
Oleh: Esti Nuryani Kasam
Ini negri elok permai
Bingkai lukisan atas perkampungan di atas air
Nusantara menjadi nama gabungannya
Kebanggaan tak terperi bisa tinggal di dalamnya
Ini negri sekian kali dikoyak badai
Gempa bumi, tsunami, dan letusan merapi bertubi
Pengukuh pantang menyerah dan rabuk alam subur
Kemakmuran mengantar kami hingga alam kubur
Ini negri mari ditaburi cinta lestari
Semoga tak berlarut goncangan nafsu materi pribadi
Enyahkan korupsi dan pemerasan kekayaan alam
Asah nurani warga, miliki tanggungjawab berkebangsaan
Farid Mustofa adalah dosen Fakultas Filsafat UGM. Menyelesaikan pendidikannya di 2 perguruan tinggi secara bersamaan yaitu di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga dan Universitas Gadjah Mada. Latar belakangnya sebagai santri di Pondok Pesantren Futuhiyyah, Mranggen, Jawa Tengah mengantarnya mendalami Filsafat Islam. Farid menempuh studi doktoralnya dalam bidang Filsafat di Universitat Leipzig, Jerman, salah satu universitas tertua dengan tradisi keilmuan yang kuat di Jerman. Pandangan dan pemikiran Farid tentang Urban Sufism dikenal luas. Tahun 1999, Farid membidani lahirnya Studi Islam Kontekstual UGM yang rencananya dimaksudkan sebagai embrio Pusat Studi Islam UGM. Ia juga pernah mengasuh rubrik Tanya-Jawab Agama di Harian Jogja Post (hasilnya diterbitkan dalam bentuk buku oleh Mitra Pustaka Yogyakarta) serta ceramah di Radio PTDI Kota Perak Yogyakarta. Farid tidak hanya dikenal pandai bermusik tapi juga telah menulis beberapa lagu, menulis skenario drama, dan sesekali menyutradarai pementasan teater rakyat (ketoprak). Ia juga tergabung dalam Tim Kesenian Indonesia pada Festival Janadriyah di Arab Saudi, Tim Dialog Antaragama dalam lawatan ke 6 Negara Bagian Amerika Serikat, serta menjalin kerjasama dengan universitas-universitas di Mesir dalam rangka World Class University.
TERSESAT DI SURGA
Farid Mustofa
Aku berkelana di belantara Indonesia.
Menyelinap di pepohonan sejarah, belukar nilai,
dan rimbun peradaban.
Desau anginnya yang basah menerpa mukaku,
menghembuskan berita perjalanan yang galau.
Aku mematung di punggung bukit negeri.
Menatap cakrawala timur ke rumah matahari.
Menyapu lukisan sawah dan langit jingga,
yang begitu elok hingga rembulan dan musim-musim
tidak ingin berpindah ke negeri lain.
“Inilah. Sepotong surga yang terserak di bumi”,
berkata kunang-kunang kepada daun.
Menjelang siang,
menembus ilalang, batang bambu, dan mendung kapas,
aku melihat sebuah kota di kejauhan.
Kuturuni bukitnya, kupacu langkah ke sana.
Ketika senjakala tiba barulah aku sampai di gerbangnya.
Kota lengang, hitam putih, dan tidak berjiwa.
Kota yang mengasingkan orang-orang
lantaran tinggi tembok rumah jiwanya.
Rumah yang semestinya memerdekakan,
bukan memenjarakan.
Penjara2 yang telah memburamkan akal-budi,
menumpulkan hati-nurani,sehingga
menyangka bahagia padahal derita.
Di sudut sebuah taman, di gelap temaram lampu kota.
Aku melihat bayangan orang-orang muda bercengkerama.
Mirip manusia purba mereka meneriakkan makian,
mulutnya meracau berbusa-busa.
Sesekali dari ubun-ubun kepalanya,
mengepul paham-paham dunia
dan sihir ilmu pengetahuan.
Dengan mual dan mulai ketakutan,
kutinggalkan mereka.
Terhuyung-huyung kutiti jembatan batu,
hingga kujumpai sebuah harapan:
para cendekia berbincang-bincang di kedai tua.
Suara mereka hampir membuatku bahagia,
lantaran aku mengira menemukan obat dahaga.
Namun ternyata…
Para cendekia itu:
mukanya rata,
warnanya pucat,
dan kepalanya…terbelah-belah.
Lolong parau serigala memenuhi angkasa kota,
Mengirimkan pesan prahara.
Aku berlari kencang sejauh-jauhnya.
Kupegang kuat kepalaku agar tidak ikut terbelah.
Aku terus berjalan di antara kesesatan dan putus asa.
Hingga kutemukan petak-petak sawah,
Dengan para petani yang sedang memanen padi.
Panen yang gemilang, namun raut jiwa mereka
mengguratkan nestapa.
Ada apa, kawan?
Apa yang terjadi?
Mengapa kalian dirundung duka?
Mereka menjawab:
Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
Katakan padanya padi-padi telah kembang
Ani-ani seluas padang roda giling berputar putar
Siang malam tapi bukan kami punya
Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
Katakan padanya tebu-tebu telah kembang
Putih-putih seluas padang roda lori berputar-putar
siang malam tapi bukan kami punya
JIMAT DARI KAKEK
:Farid Mustofa
Menjelang sore hari.
di pinggir sebuah sungai, aku tersadar diri.
Teringat kantong jimat pemberian kakek.
“Benda ajaib ini akan menolongmu, cucuku.
di saat tidak ada satupun bantuan datang kepadamu”
Maka aku keluarkan isinya dan kudapati 5 batu mulia.
Pertama, batu KETUHANAN.
Ya, bertuhan akan menyelamatkanku,
karena hidup dan matiku ada di tangan-Nya.
Namun.. manamungkin bisa?
Sedangkan aku saja,
sering menganggap diriku Tuhan.
Kubuang batu pertama,
kuraih yang kedua: KEMANUSIAAN.
Yah, kemanusiaan akan melembutkan rasaku,
Membuatku adil, dan bertatakrama.
Namuun, Bagaimana bisa?
Kalua aku saja lebih sering
menjadi binatang daripada manusia.
Kubuang lagi, lalu kupungut batu ketiga:Batu PERSATUAN.
Batu ini akan membuatku rukun
dengan yang lain, mendengar Bahasa kalbu orang lain, berempati, dan menghormatinya.
Tapi bagaimana bisaa?
wong dengan diri saja aku sering menipu dan tidak akur.
Aku mulai ragu dengan 2 batu tersisa.
Namun kuambil juga, siapa tahu ada harapan di sana.
Batu keempat: KERAKYATAN.
Nah ini dia. Akulah rakyat. Rakyat negeri iniii.
Batu ini pasti menolongku.
Tapii… Ssepertinya tidak jugaaaa…
Lantaran aku terlalu bodoh
mengambil hikmah apalagi bersedia bermusyawarah.
Karena musyawarah itu tidak gagaah.
Aku nyaris tak berharap lagi pada batu terakhir.
Namun karena penasaran kuambil juga.
Batu terakhir KEADILAN SOSIAL.
Makanan apa lagi iniiiii?
Ini jelas tidak akan menolongku
karena aku pelit, egois, serakah, dan suka mencuriii.
Anak-anak kini telah pandai menyanyikan gema merdeka
Nyanyi nyanyi bersama-sama di tanah-tanah gunung
Anak-anak kini telah pandai menyanyikan gema merdeka
Nyanyi nyanyi bersama-sama tapi bukan kami punya
**Rejodani, 2 Agustus 2019
Nama saya Gandes. Saya besar dalam keluarga yang menyukai kebersamaan. Saya menikmati membaca berbagai buku, dan melakukan travelling, baik sendiri, terlebih bersama keluarga saya; saya menyebutnya ”my three boys.”
Sejak kecil saya suka membaca puisi. Ayah saya yang banyak mengajari saya membaca puisi. Saya mencintai pekerjaan saya sebagai dosen, saling berbagi ilmu dengan para mahasiswa saya, baik mahasiswa S1, S2 maupun S3.
Bagi saya, setiap hari adalah hadiah; layaknya sebuah hadiah, perlu diapresiasi, perlu disyukuri, perlu dijaga dan dirawat serta dimanfaatkan sebaik-baiknya. Membaca puisi di bulan Agustus, menjelang peringatan hari merdeka, adalah salah satu cara mensyukuri nikmat kemerdekaan ini.
Doa Untuk Indonesia
Gandes Retno Rahayu
Tuhanku Yang Esa
Syukur atas cinta yang tiada habis
74 tahun bernafas di alam merdeka
Tiada henti kureguk nikmat tak terperi di negeri ini
Duhai Sang Khalik
Dari Aceh hingga Papua
Kau kirim putra bangsa terbaik –
Cut Nyak Dien, Pangeran Antasari
Jenderal Sudirman, Soekarno-Hatta
Ki Hajar Dewantoro, Bung Tomo
I Gusti Ngurah Rai, Sultan Hasanuddin
Martha Cristina Tiahahu, Frans Kaisiepo
Mereka berbeda
Namun ada satu semangat membara mencintai negerinya
Kirimkan keberanian pada kami, mengambil teladan baik dari mereka
Wahai Sang Maha Cinta
Kau berikan kekayaan alam tiada tara
Air melimpah dengan aneka satwa
Tanah subur dengan kandungan tambang beraneka
Beri kami kesadaran sempurna untuk kerja keras mengolahnya
Bukan perang saudara memperebutkan dan mengkorupsi semua yang bisa
Duhai Sang Maha Rahim
Disetiap jengkal kutemukan keindahan di tanah ini.
Biru Danau Toba, biota Laut Bunaken, api biru Ijen
perkasanya Bromo, surga dunia Raja Ampat
Rancak irama saman dan kecak
Merdu angklung dan tetabuhan gamelan
Warna memikat helai tenun, sogket dan batik
Biarkan keindahan itu mengaliri relung jiwaku
Menggerakkan sukma untuk sujud syukur
Mengolah dan menjaganya menjadi warisan adiluhung
Duhai Pencipta Semesta
260 juta jiwa Kau cipta menghuni tanah Indonesia
Gerakkan pikir kami menjadi cerdas
Tempalah kami menjadi tangguh
Poleslah hati kami menjadi bijak
Biarkan keberagaman menjadi kekayaan batin yang menyatukan
Menjadi saksi dan bukti kuasaMu semata
Kuncilah mulut para penghancur bumi
Tumbuhkan cinta di dada kami
Wahai Sang Maha Kekal
Jagalah hati, pikiran dan nurani pemimpin kami
Agar dapat menuntun bangsa ini
Menuju kemajuan beradab
Menuju kemajuan manusiawi
Berkahi selalu tumpah darah ini
Heru Marwata (HM) hanyalah penggemar kata-kata sederhana. Orang yang menyebut dirinya sebagai HM si Tahu Bulat (tahoe boelat) karena gaya dan hobinya menulis puisi-puisian secara cepat ini lahir di Yogya, 50-an tahun silam. Posisinya sebagai staf pengajar FIB UGM Yogyakarta telah membawanya ke beberapa negara di Asia dan Eropa/Skandinavia. Penggemar jalan-jalan yang pernah menjadi dosen tamu di Guangdong University of Foreign Studies (GDUFS), China (2010—2011), dan di Hankuk University of Foreign Studies (HUFS) Global Campus, Yongin, Korea Selatan(2017–2019). Ia selalu berusaha menulis apa pun, kapan pun, dan di/ke mana pun. Penggemar bulutangkis (yang sekarang juga menyukai olahraga menembak) ini bukan penyair dan tidak ingin menjadi penyair. HM si Tahu Bulat menulis demi kesenangan pribadi untuk menemudapatkan tambahan pengalaman dalam menjalani kehidupan dan sekaligus mensyukuri anugerah Sang Pencipta yang berupa kegemaran memungut kata-kata. Menurutnya, berkarya, apa saja, itu sangat penting karena karya adalah salah satu penanda eksistensi kehidupannya yang paling nyata. HM si Tahu Bulat bisa dihubungi via email heru_marwata@ugm.ac.id atau heru.marwata.ugm@gmail.com dan bisa ditemukan di Facebook, Instagram, Line, Kakao Talk, WeChat, Telegram, Youtube.
KOMUNIKASI DAN SILATURAHMI
Tembang, Puisi, dan Tanka
Heru Marwata
(tembang pucung, bahasa Jawa)
sayektine
urip amung mampir ngombe
tangeh lamun langgeng
mesthi kabeh bakal bali
nyang ngarsane Gusti Kang hakarya jagat
(terjemahan bebas ke bahasa Indonesia)
sebenarnya
hidup ini takkan lama
hanya sementara
s’mua pasti ‘kan kembali
ke hadirat Sang Pencipta alam raya
(hm, 10052019)
(puisi)
sudah takdirnya
sebagai manusia
tak bisa hidup sendiri
tenggelam dalam sepi
bersama membangun empati
bersama menggalang simpati
bersama menganyam soliditas
bersama merenda solidaritas
(tanka)
saling menyapa
di dalam kehidupan
komunikasi
bagai aliran darah
dari ke jantung kita
saling menengok
lewat neka media
silaturahmi
seperti otot tulang
kuat tegakkan badan
salam tahu bulat dari Yongin-Korea, #pondokilusikatatanpaarti, 11052019
Ika Dewi Ana adalah dokter gigi polisi sebelum menjadi dosen Fakultas Kedokteran Gigi UGM. Terlahir dalam keluarga besar pesantren An Nahdhiyyah, dua dari 6 karya penelitiannya dalam bidang biokeramik telah dimanfaatkan masyarakat luas dan klinisi, dan mengantarnya menerima Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa (AKIL) dari Pemerintah RI. Dalam kesehariannya sebagai dosen dan peneliti, ia menulis cerita2 pendek di Femina, artikel2 di KOMPAS, Detik, dan GATRA. Bukunya yang pernah terbit adalah “Tuntutlah Ilmu Sampai ke Nippon”. Waktu kecil ia menjuarai lomba deklamasi TK se DIY dalam Hari Anak Nasional sebagai Juara 1 dan pernah menjadi Juara 1 baca puisi SMP se DIY tahun 1984. Ika juga pernah menjadi Siswa Teladan Nasional SMA 1986, dari DIY. Ika pernah Juara 1 Karya Tulis Ilmiah Kedirgantaraan Indonesia tahun 1986, dan mendapat hadiah naik pesawat CN-235 dari Pak Habibie.
Tadabbur untuk Negeri
Oleh Ika Dewi Ana
Waktu aku kecil,
Indonesia kukenang sebagai
Tanah tumpah darahku
Ibu Pertiwiku
Negaranya kaya
Bergunung-gunung tinggi berwibawa
Hijau, luas, indah
Penduduknya ramah
Bagi masa kecilku,
Negeriku bagai negeri mimpi
Sampai tidurku dibangunkan dan mimpiku diusik
Oleh sekumpulan anak yang bertikai, berkelahi,
Dan bermain tembak-tembakan
Aku selalu resah dan terganggu permainan itu
Waktu aku remaja
Indonesiaku, tumbuh mengikutiku
Menjadi remaja
Ia tentu semakin cantik, ranum,
Dan kulihat hamparan tubuh indahnya dari
Jendela kereta dunia
Dari kilatan kamera
Dari udara
Dari cerita
Lalu aku pun kembali menikmati mimpi tentang negeriku
Tapi mimpiku dibangunkan kembali
oleh berita perkelahian anak-anak sekolah
Oleh cerita tentang remaja sebayaku
yang tak dapat bersekolah
Oleh tamparan popor senjata yang mengenai keningku
Saat aku mengabadikan cahaya
Di suatu perhelatan massa demonstrasi mahasiswa
Aku pun pada akhirnya tumbuh
Menjadi manusia dewasa
Begitu juga dengan Indonesiaku
Sedetik pun aku tak pernah melupakan tanah airku
Ia bersemayam di diriku
Ia menjadi ilham bagi hari-hariku
Ke penjuru dan jengkal mana pun di seluruh pelosok dunia,
ia membersamaiku
“Setengah tiang hingga lengser!”
Begitulah kubacakan pernyataan itu
Di tangga rumah besar ilmuwan di Bulaksumur
Kupimpin ribuan orang mengikuti pernyataanku
Dan aku tak pernah mengira bahwa pernyataan itu
Akan dicatat sejarah negaraku
Untuk menumbuhkan Indonesiaku
Dan kini
Aku mulai beranjak menuju pintu kearifan
Yang terasa jauh
Yang belum juga sampai kutempuh ujungnya:
Indonesia tetap menjadi inspirasiku
Ia menakodai mimpiku
Kadang dan sering mimpiku
Terusik oleh kegelisahan,
Keterbelahan,
Keterpecahan,
Keterbelakangan,
Kebodohan,
Ataupun pertikaian yang tidak perlu
Sekalipun begitu,
Indonesia tak berhenti menjadi inspirasiku
Ia tak saja menakodai mimpiku
Ia memaknai setiap keheninganku
Dan tindakanku
Indonesia,
Engkau Tumpah Darahku.
Queen of the South,
31 Juli 2019
Untuk Indonesia dan Cerita tentang Daun
Tadkiroatun Musfiroh, biasa dipanggil Itadz, lahir di Ungaran, 29 Agustus 1969. Dosen UNY, studi lanjut di UGM Seorang emak, satu anak, suka makan enak Hobi nyanyi, bikin puisi, dan menikmati karya seni Sedang asyik mengurus 39 sekolah Ma’arif di NU DIY “Hebat dan sukses hanyalah tujuan antara. Tujuan utama kita tetaplah menjadi orang baik”
SAAT 4.0
Tadkiroatun Musfiroh
Dulu, di ruang besar ini, para pekerja riang bercanda
Saling ejek, saling hina lalu tertawa bersama
Celoteh sesama, menertawakan hutang, SPP nunggak,
istri ngambeg, sepatu jebol, gas langka, listrik naik
Ya, tembang kesengsaraan yang disyukuri
Kini, sepi. Suara sendok garpu beradu tak ada lagi
bunyi langkah yang dulu riuh kini sunyi
bau keringat dan apek sepatu tak tercium lagi
Mereka dirumahkan, diberi pesangon 6 bulan gaji.
“Aku Fox siap mematuhi perintah”, ujar Fox pengganti Slamet
Ia mencoding buku, menata lembar berserak tanpa keluhan
lalu membawanya ke ruang bendling, hanya beberapa menit
buku tertata, rapi tanpa tanding
Sukirah dirumahkan, tempatnya dipakai Chihira Aico
Paijo, satpam yang ramah digantikan Knightscope
Kini, di ruang depan hanya ada angin lewat.
Tak lagi ada tawa Kirah –Paijo yang mengakak-akak
Aico bukanlah Sukirah, Knighscope bukanlah Paijo.
Keduanya pendiam dan tak pernah tertawa bersama
Pak Bonang dirumahkan, Moccashi menggantikan.
Tak terdengar lagi keluh sakit boyok sang pengawas.
Moccashi tak punya sakit boyok. Ia kuat dan perkasa.
Dialah bos kendali bagi besi-besi yang berjalan
rapi di sempit-sempit ruang, tanpa tabrakan.
Inilah 4.0. Robot-robot bekerja sepi tanpa gelak tawa
Semua dikendalikan dalam dialekta rumus dan input data
Zaman tak mungkin ditelan, tak mungkin dilawan
Manusia tetap merdeka, mengatur dunianya.
Plosokuning, Juli 2019
Ons Untoro. Tinggal di Yogyakarta, puisi-puisinya ada di antologi Negeri Langit (2014), Negeri Laut (2015) Negeri Awan (2017), Negeri Bahari (2018) Antologi puisi tunggal, Mengenali Yogya (2012), penerbit Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta. Pastor Menikah (2016), penerbit Interlude, Yogyakarta. Obituari: mereka yang sudah pergi (2017) penerbit Tonggak Pustaka, Yogyakarta, dan sejumlah antologi puisi bersama lainnya.
74 Tahun Kita Merdeka
Puisi Ons Untoro
Langit biru dan kibar bendera
merah putih jiwa kita
“maju tak gentar, maju tak gentar”
kita berseteru karena beda gambar
dadamu, dadaku, dada kita
kita bersama seperti saudara
meski tinggal lain kota
Musuh tak lagi siaga
kita malah saling mencela
hanya karena beda agama
hanya karena beda kata
lampu warna menghias kota
menyambut kita merdeka
74 tahun kita merdeka
sering lupa pada perempuan
yang menjahit bendera
untuk kita merdaka
tanda tak ada penjajahan
Langit biru dan kibar bendera
demi bangsa, satu hati, satu kata
Indonesia adalah kita
Yogya, 15 Juli 2019
DRE Ronny Roekmito Lahir di Magelang, 28 des 1961. FK UGM lulus 1987. Pasca sarjana FK UGM lulus 1999. Rumah di jl.merapi 86 klaten. Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Kab Klaten.
“MEMAKNAI RASA KEBANGSAAN”
oleh. DRE Ronny Roekmito
Konstetasi yg penuh dg hiruk pikuk,
Pemilihan yg begitu hingar bingar,
Aroma politik yg merebak di seantero negeri,
Nuansa keakuan yg mewarnai kehidupan sosial,
Suasana dinamis itu serasa berlangsung lama,
Dan rasa rasanya begitu mengkhawatirkan.
Menjadi sangat nampak,
kepentingan pribadi ditonjolkan,
tujuan kelompok dikedepankan,
walau dikemas dalam bingkai kemaslahatan rakyat,
namun terasa hambar dan kadang lucu.
Orasi demi orasi dilantunkan,
kemakmuran rakyat diteriakkan,
kesejahteraan masyarakat dikumandangkan,
persatuan dan kesatuan bangsa disuarakan.
Namun merebak pertanyaan,
seiring dgn gempita suara itu,
benarkah semua hal itu,
yang akan dilakukan mereka ?
Nyatanya…..
konflik kepentingan,
perjuangan kemenangan kelompok,
yang justru menohok ke permukaan,
mereduksi kentalnya rasa kebangsaan.
Kemerdekaan yg telah diperjuangkan,
Kemerdekaan yg telah menelan putra putra terbaik bangsa,
Kemerdekaan yg mempersatukan kepentingan bangsa,
Nyaris diluluhlantakkan,
Demi menggapai kepentingan pribadi dan kelompok.
Memprihatinkan…..
Menyesakkan dada…..
Memang…..
Tapi cukupkah hanya dg berkeluh kesah,
sementara rasa kebangsaan makin terkikis.
Hemmmm….
Kiranya sudah waktunya,
Arti Kemerdekaan digaungkan kembali,
Sudah saatnya,
Makna rasa kebangsaan,
Ditawarkan kembali.
Rasa kebangsaan itu,
Bila kita mau mengakui perbedaan,
Perbedaan yg bukan diskriminatif,
Dan bukan dominasi mayoritas.
Rasa kebangsaan itu,
Menumbuhkan toleransi,
Menghormati yg lemah.
Rasa kebangsaan itu,
Mengedepankan persatuan,
Menginginkan mufakat.
Rasa kebangsaan itu,
Berterima kasih kepada Indonesia,
Menjaga persatuan Indonesia,
Menegakkan kejayaan Indonesia,
Dan selalu…
Membela Indonesia.
Klaten, 29072019
Sri Penny Alifya Penulis lahir di Grobogan, 17 Januari 1981. Memulai pendidikan formal di SDN Sumberagung I yang terletak di perbatasan Grobogan-Blora dan Pati, melanjutkan jenjang menengah pertama di Madrasah Tsanawiyah Negeri I Wirosari dan lulus tahun 1996, kemudian penulis menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren selama 1 tahun. Pada tahun 1997 penulis melanjutkan pendidikan menengah atas di Madrasah Aliyah Negeri Purwodadi, dan diterima melalui jalur PBUD di Universitas Gadjah Mada mengambil jurusan Sastra Indonesia dan lulus tahun 2004, setelah mendapat gelar Sarjana penulis melanjutkan pendidikan Profesi selama satu tahun di Universitas Negeri Yogyakarta (PPIK Akta Mengajar), selepas dari UNY penulis mengajar di Madrasah Aliyah Negeri 1 Grobogan sejak 2006-sekarang. Untuk menambah khazanah keilmuan penulis melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Negeri Semarang mengambil jurusan pendidikan Bahasa Indonesia 2015 dan lulus 11 Desember 2017.
Selain menjadi kawan belajar di Madrasah Aliyah Negeri 1 Grobogan, dalam keseharian penulis aktif bergabung dalam wadah penulis yakni Forum Silaturahmi Penulis Grobogan (FSPG), dan kegiatan seni seperti, teater, majelis sholawat, paduan suara, dan kegiatan seni lainnya. Puisi karya penulis banyak dibacakan dalam berbagai event baik lokal, kabupaten, provinsi sampai tingkat nasional, beberapa puisi juga dimuat dalam harian, Suara Merdeka, 15 Sepetember 2015, sajak berjudul Sang Kiai, Suara Merdeka, 17 Mei 2018, sajak berjudul Negara Api dan Negeriku Entah Dimana, Balai Bahasa Antologi Puisi Surat Dari Samudera Antologi Puisi Anak terbitan Balai Bahasa Jawa Tengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Antologi Geguritan Puspo Warno tahun 2019 yang diterbitkan Intishar Publishing, dan Antologi Puisi Perjalanan Diksi tahun 2019 karya penulis yang diterbitkan Hanum Publisher.
CATATAN BURAM UNTUK INDONESIA
Indonesia sejak dulu kala
Selalu dipuja –puja bangsa
Sri Penny Alifya
Lagu itu seakan menjadi cambuk
Sebagai pengingat bahwa itu hanya sebuah nyanyian
menjadi bagian dari sejarah
Masa silam yang menjadi impian
Yang hanya terkenang
Namun, sayang jika tidak didendangkan
Negeriku- Kau sedang sakit banyak penyakit bersarang ditubuhmu
Aku melihat tanpa bisa berbuat apa
menangis dipangkuan ibu pertiwi
termangu gagu dan hanya mampu menulis catatan dalam harian bisu
sudah setumpuk diari dimeja tuaku
dan mungkin akan banyak diari yang kutulis nantinya
apalah aku ini, hanya bagian yang tak terlihat di negeri ini
terisak penuh sesak tanpa adanya kepedulian
suara tangisku pun tak pernah di dengar
penghuni negeri ini dibiarkan hidup dalam rumah pesakitan
Negeriku – serasa nangis batin
Bagaimana tidak!
Bermunculan manusia bermuka dua
Sekedar numpang tenar
Skedar mencicipi kursi empuk
Sekedar numpang nama dalam sebuah jabatan
Mereka bermain peran yang sangat apik
banyak babak yang harus dimainkan
Sebuah lakon yang ditulis sutradara handal ,piawai dalam lakon jago strategi
Mengemas lakon dengan ribuan perangai dan tabiat
Seperti lakon-lakon sebelumnya
Panggung reformis saja belum usai
Masih meninggalkan tanya dan luka
Birokrasi ambradul lebih mahal dari tiwul
Panggung reformis berakhir tragis
sisakan tragedi tangis
miris selalu saja meninggalkan sisa bau amis
pasca ikrar kemerdekaan
banyak tontonan murahan yang disajikan oleh Lakon-lakon dari negeri ini
memainkan lakon yang tak pernah usai
hingga berujung pemerasan nurani
ketidak adilan yang terus menerus dipertontonkan menyisakan tanya yang tak berkesudahan
lakon kemarin saja belum tamat
sengaja ditutup rapat
bagaimana aku bisa diam
jika angkara selalu bersembunyi dibalik tawa
alih cerita datang tiba-tiba bikin ontran-ontran
biar banyak sorotan
dan setelah itu kau bersaksi
menyusun rencana penuh duri
begitu dan selalu begitu
Negeriku -Kau sedang lara
Merintih pedih penuh ratap tangis
Lakon perkasa kau bunuh perlahan
Lakon cendekia kau suap dengan uang koperan
Lakon kesatria kau siksa tanpa jejak tangan
Kau buat tamat sad ending
Membuat seluruh penonton kecewa penuh prasangka
Seperti itu dan begitu terus
Sampai kapan lakon –lakon bertopeng ini bermain dipanggung negeriku
Mereka kau biarkan bebas berlaga layaknya pahlawan
Tapi semua klise
Negeriku jika kemerdekaan ini bisa kunikmati
Hadirkan raja dan ratu negeri yang sakti
Yang bisa membasmi seluruh lakon-lakon bertopeng di negeri ini.
Membunuh dalang-dalang teri
Membunuh mereka dan memanggang mereka diatas perapian
Doa dari pesakitan
Kuingin merdeka yang sesungguhnya
Bukan kedar merasa merdeka
Tanpa ada catatan buram
Kuingin negeriku ini sembuh
Agar segera terobati luka-luka tanpa balutan
Kami ingin
Merdeka tanpa catatan buram
Grobogan, 31 Juli 2019 23: 12
UMI KULSUM, pegiat sastra yang menetap di Bantul. Tulisannya dimuat di beberapa media massa dan beberapa buku antologi puisi bersama. Tahun 2016 buku kumpulan puisinya “Lukisan Anonim” dan tahun 2017 buku kumpulan puisinya “Akar Ketuban” mendapatkan Anugerah Hari Puisi Indonesia sebagai Buku Puisi Pilihan, oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia. Tahun 2016 buku cerita anak karyanya yang berjudul “Jalan Tak Lagi Terjal” diterbitkan oleh Balai Bahasa Yogyakarta sebagai buku bahan tambahan bacaan untuk siswa SD dan SMP di DIY. Di tahun 2017 buku kumpulan puisinya “Lukisan Anonim” mendapat penghargaan dalam kategori Sastra Serius oleh Balai Bahasa Yogyakarta. Tahun 2019 buku antologi puisinya yang berjudul “Akar Ketuban” terpilih oleh Kementerian Pendidikan Pemuda dan Olahraga sebagai buku referensi sastra bagi siswa SMA yang akan dibagikan untuk SMA se-Indonesia. Aktif bergiat di Sastra Bulan Purnama, Tembi Rumah Budaya Yogyakarta.
LANSKAP MERDEKA
Umi Kulsum
Inilah langit pagi, ya, langit pagi
yang membacakan kemerdekaan bagi apa saja dan siapa saja
memulangkan kelelawar dari pengembaraan semalam
membangunkan burung-burung mengukur cakrawala dengan kepaknya
Burung-burung yang memantulkan kicau
di bebukitan
menggemuruhkan dahan di hutan
dengan tarian dan loncatan
Memberi ruang bagi angin
bagi air
bagi pohon
dan akar yang berlesapan di kedalaman
bercakap dengan cacing
yang menggemburkan tanah
Burung yang terbang
seperti harapan
seperti kisah-kisah pada kitab lama
yang dibaca para pertapa di gua-gua
yang terbang bagai tangisan bayi
lahir di jagat semesta
Tak ada batas
bahkan senja begitu jauh
jauh dari yang pulang
atau yang bepergian
serba maha luas
luas seperti jiwa yang terbuka
tak ada kisi-kisi penjara
Karangjati Bantul, 2019
Wahjudi Djaja, lahir di Klaten 27 September 1971. Dosen Sekolah Vokasi UGM & STIE Pariwisata API Yogyakarta. Fasilitator desa wisata, penulis buku sejarah & humaniora. Direktur Bumdes “Tirtamas” Tirtoadi, Mlati, Sleman, DIY.
Bung, Aku Bertanya
(Wahjudi Djaja)
Bung
Aku berdiri mengenangmu
Saat hidup tak mudah dijalani
Kau berlari dengan visi dan ideologi
Membumi dalam laku bergerak tanpa ragu
Bung
Aku bersaksi tentang sebuah negeri
Gemah ripah loh jinawi negeri indah bijak bestari
Dari ujung barat sampai ujung timur
Bertebaran zamrud hijau subur makmur
Bung
Aku bertanya pada mereka
Bila merdeka hilang makna, apa arti berjuta nyawa?
Bila sumber daya tak lagi berharga, apa arti merdeka?
Bila potensi selalu dikebiri, bagaimana nasib Putra Pertiwi?
Bung
Aku merenung di tepi kampung
Kemerdekaan telah diraih dengan penuh pengorbanan
Penjajahan justru hadir kembali jauh di bawah kesadaran
Cakrawala berselimut mendung anak-anak bangsa asyik bermain lempung
Bung
Aku berpuisi untuk menghibur diri
Aku belajar dari Hamzah Fansuri sampai RA Kartini
Aku berguru dari Tan Malaka sampai Sukarno Hatta
Sejarah dan sastra ternyata jadi sampah bagi penguasa
Bung
Aku mau bicara
Bila kalimatku salah
Itu karena batinku resah
Maafkan aku kiranya
Ksatrian Sendaren 29 Juli 2019
Yayi Suryo Prabandari diberi nama, dengan harapan menjadi seorang putri seperti Prabandari, bidadari dalam dunia pewayangan kata ayah. Dari pendidikan dasar hingga strata dua tinggal di Yogyakarta, dan menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi UGM dan Pasca Sarjana UGM, Prodi Psikologi, peminatan Psikologi Klinis. Menyukai puisi sejak kecil, dan semasa SMP pernah menjadi pembaca puisi di radio Geronimo. Sayang semasa SMA dan kuliah Yayi lebih memilih kegiatan menyanyi, menari dan olah raga, puisi agak ditinggalkan, dan menjadi penikmat saja.
Setelah tiba-tiba menjadi ibu dengan anak kembar, pada tahun 1999, Yayi mendapatkan kesempatan untuk studi doktor di Australia. Sepulang dari studi, kesibukan di sana sini lebih tidak memberi peluang untuk menekuni puisi, menari ataupun menyanyi, namun olah raga masih menjadi bagian hidup. Hal tersebut dilakukan, karena menjadi model sehat penting untuk pengajaran ilmu perilaku dan promosi kesehatan yang sekarang ditekuni di Departemen Ilmu Perilaku, Kesehatan Lingkungan dan Kedokteran Sosial, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM). Menjalankan penelitian dengan fokus perilaku dan kesehatan, terutama pengendalian merokok, menjadikan Yayi mencapai gelar professor di tahun 2018. Saat ini selain puisi, Yayi mulai lagi menyanyi dan menari, terutama line dance.
Kemerdakaan Tujuh Puluh Empat Tahun
Tujuh puluh empat tahun usia Indonesia
Jika manusia sudah tidak lagi muda
Namun, bagi sebuah bangsa yang merdeka belumlah lama….
Lihatlah hasil pembangunannya
Dari sebuah negara dengan strata di bawah….
Saat ini Indonesia adalah negara dengan ekonomi sedikit di atas yang terbawah
Meskipun masih ada yang miskin, namun sebagian sudah menengah
Bahkan, ada yang hidup mewah
Tujuh puluh empat tahun usia…
Bagaimana dengan pendidikan manusianya….
Kata pakar..pendidikan adalah hal utama bagi bangsa….
Sembilan puluh persen telah menyelesaikan pendidikan dasarnya
Namun, tersisa enam puluh persen yang merampungkan menengahnya
Jangan ditanya berapa yang berhasil sampai sarjana….
Apalagi pasca sarjana….
Apakah membangun bangsa perlu sarjana……
Kata sebuah tulisan….perguruan tinggi bakal musna
Manusia belajar mandiri lewat tutorial daring….otodidak namanya
Yang dibicarakan lalu kompetensinya, bukan kesarjanaannya…..
Lalu universitas berlomba-lomba…
Memperbaiki kurikulumnya….cara belajarnya….outcome pembelajarannya
Yang mampu juga tawarkan belajar lewat webinar…seminar….
Semangat akademis yang tidak pernah pudar
Membangun bangsa agar warga negaranya bisa bersinar
Tujuh puluh empat tahun usia…
Ayo kita bicara tentang kesehatannya….
Setelah beberapa masa jaminan kesehatan tidak menjadi niscaya,
Penduduk Indonesia yang sakit tidak lagi kuatir biaya
Disisi lain mereka mengandalkannya dan tidak berupaya
Tanpa kuatir menghisap rokok dan pipanya
Wisata kuliner kapan saja dan kemana saja
Ketika ditanya kenapa tidak olah raga…
Ah…mbakyu…..ikan paus berenang tetap besar badannya……
Ketika ditanya lagi apakah tak kuatir bila ada gangguan di tubuhnya….
…mbak yu mbak yu……negara menjamin kita…kalau sakit sudah tak berbiaya….
…lalu..mbak yu…tahukah mbakyu..…hisapanku ini menambah biaya…….
Tujuh puluh empat tahun usia….
Memasuki era Industri 4.0 katanya….
Apa yang terjadi di negara kita?
Sepuluh besar di dunia pengguna sosial media….
Tak sulit mencari kawan di dunia maya…..
Jumpa lagi dengan teman kecil, teman kuliah, bahkan musuh dan mantan
Tak hanya itu, cari jodohpun bisa …apalagi cari makanan yang bersantan….
Buka aplikasi…..selancar ….belanja daring…pesan minuman….
Tak lama paket datang, ada yang ketuk, buka….antar barang dengan senyuman
Dari dunia maya berkumpul dan bersatulah pertemanan lama
Reuni lalu merebak di mana mana dan jadi biasa…….
Bahkan kawinan akhrinya terlihat yang rayakan bukan temantinnya….
Tetapi orang tua dan teman-temannya ……foto sini…foto sana…
Tujuh puluh empat tahun usia…
Presidennya sudah berganti lebih dari lima…
Partainya berkembang dari tiga menjadi beberapa..
Kepala negara dan kabinetnya telah berusaha agar negara berjaya
Meski korupsi belum bisa seratus persen ditanggulangi
Namun KPK akan memerangi….
Meski perselisihan dan perseteruan dalam kampanye terjadi
Akhirnya calon pemimpinpun kontemplasi diri
Indonesia akan punya presiden baru lagi tahun ini
Tujuh puluh empat tahun usia….
Semakin banyak orang berwisata dan berkelana
Tak hanya study tour atau keluarga, tetapi para anak muda
Destinasi wisata mulai mempercantik diri agar mempesona
Dana desapun bermakna untuk menjadikan desanya sebagai tujuan wisata
Semakin banyak anak muda, semakin tenar tempatnya
Apalagi jika tempat telah masuk sosial media…
Instagramable kata anak-anak muda…..ayo kesana…..
Tujuh puluh empat tahun usia…..
Akupun tak lagi muda….
Namun aku masih dan tetap cinta Indonesia, meski aku telah pergi ke lima benua
Gunung, laut, dataran dan alamnya yang mempesona
Kerukunan, keguyupan manusianya yang masih terasa…
Meski aku kadang merindukan masa lalu
Yang tak pernah bicarakan perbedaan antar manusia
Yang warna warni bukan menjadi sesuatu
Karena kita memang seharusnya bersatu…
Lalu aku bertanya…..
Mungkinkah Indonesia akan selalu bersatu….
Mungkinkah Indonesia akan terus berjaya….
Padamu Indonesia….
Aku selalu berdoa….
Jadilah bangsa dengan manusianya yang terbuka….
Tujuh puluh empat tahun usia…….
Sekali merdeka tetap merdeka.
Babarsari, Yogyakarta, 27 Juli 2019
Yayi Suryo Prabandari
Iwan Dwiprahasto adalah staf pengajar pada Departemen Farmakologi dan Terapi, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM. Ia seorang Guru Besar Farmakoepidemiologi, yang menyelesaikan Dokter di Fakultas Kedokteran UGM, Master Degree di University of NewCaste Australio, dan Phd di London School of Hygiene and Tropical Medicine, England.
Selain sebagai dosen, Prof. Iwan saat ini aktif menjadi ketua pada beberapa Komite Nasional terkait obat (Komnas Fornas, Komnas DOEN, Komnas Obat Haji, dan Komnas Kompendium Alkes). Ia juga aktif sebagai anggota Komnas Penilai Teknologi Kesehatan Kemkes RI, anggota Komite Nasional Penilai Obat Jadi Badan POM RI, Dewan Pertimbangan Medik Pusat, BPJS dan Dewan Pertimbangan Medik Mandiri Inhealth. Ia sengaja mendedikasikan hidupnya untuk kepentingan orang banyak, agar bermanfaat untuk masyarakat. Membaca puisi memang bukan keahliannya, tetapi menulis puisi dan membacanya menjadi cara tersendiri untuk mengekspresikan berbagai hal yang menyentuh humanismenya.
Jangan sakiti negeri ini
Ciptaan: Iwan Dwiprahasto
Gemuruh meriam masih terngiang memekakkan telinga
Rentetan suara peluru yang menyibak malam masih terasa
Masih adakah pejuangku tersisa di sana
Yang berperang sepanjang hari dengan darah dan nyawa
Peluh mengucur di dahi
Darah mengalir di pipi
Desah napas tertahan di tengah sepi
Membalut hati yang gundah dan tak mengerti kapan perang akan berhenti
Di medan perang nyawa dipertaruhkan
Di medan laga seluruh jiwa raga diserahkan
Untuk merebut bumi yang telah terhinakan
Oleh penjajah yang tak berperikemanusiaan
Hari ini kita berdiri di sini
Menjadi saksi bahwa bumi sudah kembali
Di pangkuan ibu pertiwi
Sebagai bagian dari NKRI
Namun segerombolan orang mendadak datang menggertak
Berdalih dogma menyerang Pancasila
Sengaja membuat merah putihku kembali terkoyak
Hati ku pun tergores pilu dan luka
Mereka hinakan semua hasil perjuangan ini
Mereka hancurkan isi negeri yang damai ini
Mereka injak-injak harga diri pemimpin kami
Di sini kami semakin benci tindakan tak terpuji
Jangan kau bersorban, kalau akhirnya umat ini menjadi korban
Jangan kau merasa beriman, kalau kami yang dijadikan umpan
Kami diam bukan karena takut
Tapi kami tak ingin jadi pengecut
Menyakiti sesama katanya dosa
Mencederai saudara sebangsa katanya nista
Tapi mengendalikan nafsu jahat mengapa kau tak bisa
Amarahmu dan gerombolanmu membuat negeri ini tersiksa
Masihkah kau mengaku beragama
Jika menghina menjadi keseharianmu
Menghujat pemimpin menjadi kebiasaanmu
Dan mengadu domba menjadi tujuanmu
Kami lelah dengan semua kebrutalanmu
Bukan hanya perbuatan tetapi juga bahasamu
Mencibir, nyinyir, menghasut dan memprovokasi
Bahkan di ruang media sosial pun kau tebarkan semua rasa benci
Tuhan…..
Aku tahu kau diam
Aku pun tahu kau geram
Tapi aku mengerti bahwa keesaanmu lah yang membuat langit temaram
Kekuasaanmu lah yang kelak akan membuat mereka terpejam
Terbujur kaku di makam
Menunggu engkau hisab kan
Aku akan tetap setia pada negeri ini
Aku akan tetap di muka membela NKRI
Dan aku akan menjaga agar saudaraku tak tersakiti
Oleh segerombolan orang yang mengaku suci tetapi rajin mendzalimi