Doctor – patient communication in Southeast Asia: a different culture?
Penelitian di negara barat telah menunjukkan bahwa komunikasi terbuka dan efektif antara dokter-pasien dapat memfasilitasi pelayanan kesehatan yang optimal. Kesamaan pemahaman dapat dicapai dokter pasien apabila kedua pihak terlibat dalam bertukar informasi secara aktif selama konsultasi.
Namun di negara-negara Asia Tenggara, terdapat kesenjangan antara gaya komunikasi yang diharapkan dan yang terjadi di lapangan, dimana komunikasi bersifat paternalistik atau cenderung satu arah, dengan peran dokter yang dominan (Claramita et al. 2011). Fenomena ini mencerminkan adanya “superioritas” pada pasien dalam konteks konsultasi, atau adanya celah “education gap” yang jauh antar dokter pasien. Faktor- faktor yang menggarisbawahi kejadian ini sudah pernah diteliti: beban kerja dokter yang tinggi, ketidaksiapan pasien terhadap gaya komunikasi, dan kurangnya pendidikan komunikasi. Namun juga ada peran budaya yang melatarbelakangi kejadian ini.
Penelitian ini membahas akar masalah dari peran budaya terhadap interaksi dokter pasien dan menunjukkan solusi penyusunan model komunikasi yang dirancang khusus untuk diterapkan pada pendidikan kedokteran.