[info_post_meta]
“One-Day Seminar”
Pencapaian dan Tantangan Tiga Bulan Pelaksanaan JKN
Rabu, 13 Maret 2014
PKMK – Telah terselenggaranya One-Day Seminar dalam rangkaian Annual Scientific Meeting (ASM) 2014 dalam rangka Dies Natalis Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada ke-68 dan HUT RSUP Dr. Sardjito ke-32. Seminar yang telah dilaksanakan tanggal 13 Maret 2014 ini dibuka oleh sambutan dari Prof. Dr. dr. Teguh Aryandono, Sp.B. (K) Onk selaku Dekan FK UGM. Beliau menyampaikan bahwa seminar ini bagian kegiatan Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KPMAK) yang menjadi momen untuk mengidentifikasi masalah selama tiga bulan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk kemudian dicarikan solusi baik berupa jangka pendek maupun solusi jangka panjang.
Sambutan tersebut dilanjutkan dengan keynote speech dari Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc, P.hD selaku Wakil Menteri Kesehatan RI yang memaparkan mengenai evaluasi pelaksanaan dan pentingnya input untuk perbaikan pelaksanaan JKN. Hal yang ditekankan ialah landasan hukum yang ada (setidaknya 7 peraturan Pemerintah dan 5 peraturan Presiden) belum sepenuhnya dapat mengatasi kendala penyelenggaraan JKN baik dari aspek sistem pelayanan kesehatan, kepesertaan, iuran, dan paket manfaat.
Jerman membutuhkan waktu 100 tahun sedangkan komitmen Indonesia dalam kurun waktu sekitar 100 hari atau roadmap 5 tahun.O leh karena itu, berpikir positif tentang JKN menjadi inti yang menurut Prof. Ghufron perlu ditanamkan. Berbagai keluhan mengenai rendahnya tarif INA-CBG, tergantung cash-flow RS, keterlambatan pembayaran pemicu kebangkrutan provider, pengelolaan kapitasi Puskesmas kembali ke kas daerah, keseimbangan UKP dan UKM, dan isu lainnya patut diperhatikan apalagi KPK juga mulai tertarik menjadi bagian dari monitoring dan evaluasi JKN.
Menurut Prof. Ghufron, tantangan JKN dan solusi yang telah diupayakan diantaranya
No | Tantangan | Solusi |
1 | Bayi baru lahir peserta PBI tidak dijamin | SE Menkes HK/MENKES/32/I/2014 |
2 | Anak terlantar dan pengemis yang dijamin Jamkesmas sudah berakhir | diajukan anggaran 400 M namun tidak disetujui |
3 | Tingginya minat masyarakat terutama yang sakit untuk mendaftar | optimalisasi sosialisasi |
4 | Beberapa peserta masih dibebani out of pocket | pengaduan untuk teguran dan klarifikasi |
5 | Rujukan berulang di kasus yang sama | SE MENKESNo HK/MENKES/32/I/2014 |
6 | Pemberian obat 3-7 hari kasus kronis | SE MENKES No HK/MENKES/32/I/2014 |
7 | Ada tarif INA-CBGs belum mengakomodir biaya riil RS | evaluasi INA-CBGs |
8 | Profesi mengharapkan standar jasa pelayanan | peraturan masih dalam proses |
9 | Mekanisme Jampersal | sudah diintegrasikan dalam JKN |
10 | Profesi mengharapkan insentif tetap DTPK | sedang dikaji |
11 | INA-CBGs belum dipahami RS dan tenaga medis | sosialisasi melibatkan asosiasi dan organisasi profesi |
12 | Kejelasan tarif dasar ambulan | SE MENKES No HK/MENKES/32/I/2014 |
13 | Peran Pemerintah dan Pemda dalam JKN | pembentukan tim monev terpadu baik di level pusat, provinsi, maupun kab/kota |
Selaku moderator, Dr. drg. Yulita Hendrartini, M.Kes, AAK dari Pusat KPMAK FK UGM mempersilakan pemaparan berikutnya dari dr. Doni Hendrawan, MPH selaku kepala BPJS Kesehatan Cabang Utama Yogyakarta mengenai laporan pelaksanaan JKN. Sampai dengan 28 Februari 2014, dr. Doni memaparkan bahwa jumlah kepesertaan mencapai 117 juta jiwa mendekati target 121 juta jiwa. BPJS Kesehatan juga melakukan verifikasi data kepesertaan Jamsostek sebelumnya karena sekitar 20% badan usaha ternyata sudah inaktif. Beberapa upaya penanganan keluhan peserta (seperti : forum kemitraan, unit penanganan pengaduan, sosialisasi media, aplikasi suara pelanggan askes center, pemberian feed back) menjadi bagian dari optimalisasi pengembangan aspek kepesertaan. Coordination of Benefit (COB) pun telah dilakukan dengan Jasa Raharja, Inhealth, dan Sinarmas.
Berkaitan dengan pembayaran iuran, dr. Doni menjelaskan bahwa BPJS Kesehatan bekerja sama dengan bank Mandiri, BRI, dan BNI yang kemudian diproporsikan 6,5% masuk ke rekening Dana Jaminan Sosial (DJS) dan 93,5% masuk ke rekening BPJS. Keberadaan dana yang siap ini mendorong provider untuk melakukan tagihan klaim tiap minggu sehingga verifikasi dan pembayaran dapat segera diproses paling lambat 15 hari sejak dokumen klaim diterima lengkap. BPJS Kesehatan wajib ganti rugi 1% dari jumlah yang harus dibayarkan untuk setiap satu bulan keterlambatan. Draft penggunaan dana kapitasi di Puskesmas pun sudah selesai dan menunggu persetujuan Presiden.
Permasalahan yang ditekankan oleh pihak BPJS Kesehatan lebih kepada percepatan pembayaran klaim fasilitas kesehatan karena tidak semua RS sepenuhnya paham mengenai INA-CBGs bahkan tidak didukung dengan ketersediaan tenaga coder.Tindak lanjutnya yaitu koordinasi dan sosialisasi di jajaran faskes dan memberlakukan kebijakan pembayaran uang muka sebesar 50-75% dari pengajuan klaim walaupun belum diverifikasi. Beberapa hal ini kembali ditekankan dalam evaluasi pelaksanaan INA-CBGs dari Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) yang disampaikan oleh dr. Joko Murdiyanto, Sp.An. Menurut data PERSI bahwa masih dijumpai keterlambatan pembayaran klaim RS dan menyalahi PMK No. 71 Tahun 2013. RS dalam perjanjian kerja sama pun tidak dapat mengoreksi dan tidak diposisikan duduk sama rendah maupun berdiri sama tinggi oleh BPJS Kesehatan. Masalah kualitas verifikasi dan standar verifikator pun dipertanyakan apalagi belum sepenuhnya RS paham mengenai mekanisme pembayaran terutama dokter dalam pengisian rekam medis.
Berbagai permasalahan ketersediaan dan ketidaksesuaian obat dibandingkan dengan KMK No. 328 Tahun 2013 Formularium Nasional menurut beliau perlu diperhatikan.Hal ini berkaitan dengan tidak sesuainya tarif INA-CBGs dengan tarif RS dan memicu dampak pada pemberian pengobatan dan penggunaan obat yang tidak rasional. Oleh karena itu, PERSI menekankan bahwa untuk mendukung cost and quality control perlu mendukung aspek obat dan BHP, jasa medis, alkes dan penunjang, serta clinical pathway.Berbicara mengenai biaya pengobatan maka Dr. Yulita mempersilahkan drg. Dyah Erti Mustikawati, MPH menjelaskan mengenai evaluasi pelaksanaan program vertikal di era JKN : kasus Tuberculosis.Urgensi beban TB (prevalensi 281 per 100.000 penduduk) di Indonesia yang menduduki peringkat lima di dunia menjadi pemaparan awal dalam sesi ini.TB menyumbang 27 kematian per 100.000 penduduk dan jadi salah satu beban ekonomi Indonesia. Biaya yang dikeluarkan masyarakat Indonesia untuk penyakit yang diproyeksi zero TB setelah tahun 2046 ini sekitar US$ 2 Miliar (1 tahun kasus baru) bahkan dapat meningkat akibat kesalahan penanganan dan pengobatan pasien TB.
Kepala Sub Direkrorat Tuberkulosis menjelaskan bahwa biaya TB meningkat tiap tahun (deteksi dan pengobatan) khususnya pada pasien MDR-TB sehingga meminimalkan insiden kasus TB jadi solusi menurunkan beban keekonomian dan pelayanan kesehatan TB. Di Cina 85% pendanaan TB dibiayai negara, bahkan say no to global fund dan berbeda hal di Indonesia yang masih bergantung 70% (asing) dan 30% (INA) sehingga peran JKN sangat diharapkan. Bukan hanya berkaitan dengan UKP tetapi drg.Dyah menekankan bahwa UKM juga sangat penting dalam penanganan TB. Puskesmas sudah menerapkan DOT dan provider JKN mungkin dapat diusahakan, tetapi swasta (dokter keluarga) perlu ada sosialisasi intensif.Adanya beberapa penanganan TB yang belum diakomodir oleh INA-CBGs pun diharapkan dapat diajukan sebagai komponen tata laksana TB.
Berikutnya adalah pemaparan mengenai perkembangan terkini INA-CBGs dari NCC yang diwakili oleh dr. Kalsum Komaryani, MPPM. Gambaran umum metode pembayaran INA-CBGs dalam universal health coverage jadi hal pertama yang disampaikan.Kendala misscoding dan upcoding juga masih terjadi dalam penyelenggaraan JKN. Rekam medis menentukan input coding sehingga perlu disajikan dengan lengkap apalagi aka nada ICD-11 pada dua tahun mendatang. Penjelasan kode dalam grouper, klasifikasi penyakit, dan costing juga dijelaskan oleh Ibu Komaryani. Perbaikan tarif juga sedang dilakukan NCC sehingga mendorong RS menerima pembayaran lebih adil, merefleksikan actual cost pelayanan, dan mendukung kebutuhan medis. Beliau menjelaskan beberapa masalah diantaranya : belum dipahaminya konsep INA-CBGs secara utuh, supplier induced demand dan over treatment, serta pembagian jasa pelayanan. Upaya yang dapat dilakukan yaitu meningatkan efisiensi, perbaikan mutu rekam medik, perbaikan kecepatan dan mutu klaim pelayanan JKN, adanya standarisasi, memungkinkan adanya remunerasi, dan meningkatkan pemahaman konsep INA-CBGs di level manajemen dan dokter.
Diskusi diawali dari Bapak Bram yang menanyakan kode dan restriksi fornas yang tanpa penjelasan dan dampak penyusunan regionalisasi tarif pada industri farmasi.Peserta dari Dinkes Balikpapan justru mengemukakan kasus pasien rujukan yang tidak mendapatkan kelas sesuai hak karena TT RS penuh dan pada akhirnya iur biaya dikeluarkan pasien bahkan pernah untuk ambulan juga. Pembayaran double dipertanyakan oleh Bapak Edi Purwanto dari lembaga riset Yogyakarta pada kasus suami istri berstatus pembayar. Berbeda halnya dengan Sdri Denok dari LOD yang mempertanyakan rujukan berulang pada kasus yang sama dan standar pelayanan baik PPK primer maupun PPK rujukan. Minimnya sosialisasi di komunitas marginal (defable) dan perilaku provider yang saling melempar kewajiban perawatan menjadi temuan yang juga dikemukakan oleh Sdra Nursamsudin.
Menanggapi beberapa kasus tersebut, Prof. Ali Ghufron Mukti menekankan bahwa fungsi e-katalog dalam pengadaan barang dan jasa sangatlah penting termasuk obat.Beliau mengemukakan bahwa boleh menggunakan obat di luar fornas atas izin direksi dan komite medis karena obat sudah dikendalikan dalam INA-CBGs baik sesuai atau di luar fornas. Tanggapan dr. Joko Murdiyanto lebih mengenai mekanisme naik kelas maupun keputusan pemberian pelayanan kesehatan di RS tergantung pada kebijakan masing-masing tetap sesuai regulasi.Berikutnya tanggapan dr. Doni yang menekankan bahwa BPJS Kesehatan masih dalam proses transformasi termasuk sosialisasi pada semua komunitas dan kalapun ada iur biaya perlu disertai dengan inform consent baik pada kasus naik kelas maupun turun kelas sekalipun. Status double pembayar dalam keluarga (selain PNS-PNS) dapat dikoordinasi langsung ke kantor BPJS dan untuk surat rujukan pada kasus yang sama memiliki format sendiri sehingga seharusnya tidak perlu rujukan berulang. Berkaitan degan INA-CBGs, Ibu Komaryani menjelaskan banyak faktor yang dipertimbangkan dalam komponen regionalisasi baik indeks konsumen, komoditas, jarak industri farmasi dan lain sebagainya.