[info_post_meta]

3rd Indonesian Health Economics Association (InaHEA) Congress
“The Economics of Preventive Health Program, Tobacco and Health Equity Under JKN Policy

28 – 30 Juli 2016
The Alana Hotel Yogyakarta

i.underline

Untuk ketiga kalinya Indonesian Health Economics Association (InaHEA) kembali diselenggarakan di tahun 2016 dengan tema “The Economics of Preventive Health Programs, Tobacco, and Health Equity under JKN Policy”. Serangkaian kegiatan kongres diselenggarakan di The Alana Hotel Yogyakarta mulai tanggal 28 sampai 30 Juli 2016 ini akan menghadirkan pembicara berskala nasional maupun internasional.

[tabby title=”Pre-1″]

HEALTH TECHNOLOGY ASSESMENT

PKMK-Jogja. Pada Kamis, 28 Juli 2016 telah diselenggarakan Pre Congress I yang merupakan bagian dari serangkaian kegiatan Congress 3rd Indonesian Health Economic Association (InaHEA) bertempat di Hotel The Alana, Jl Palagan Tentara Pelajar Yogyakarta. Topik Health Technology Assesment (HTA) yang disajikan oleh dr. Jarir At Thobary, MD, Dphram, PhD dari Divisi Farmakoepidemiologi dan Farmakoekonomi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada pada sesi yang pertama serta Auliya Suwantika, Apt, PhD dari Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran pada sesi yang kedua.

Peningkatan usia elderly di Indonesia mengakibatkan peningkatan kejadian penyakit dan peningkatan biaya pelayanan kesehatan. Perkembangan teknologi yang lebih bervariasi juga meningkatkan biaya kesehatan. Hal tersebut menjadikan perlunya Health Technology Assesment (HTA). Menurut Jarir, HTA dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti aspek sosial, epidemiologi, ethical consequences, aspek organisasi, costs dan financing, pengetahuan mengenai medis dan biologis, clinical effectiveness. HTA merupakan multidimensi ilmu yang melakukan studi terhadap pengembangan, disfusi dan pemanfaatan teknologi kesehatan.
Diskusi Health Technology Assesment

Cost effectiveness terdiri dari empat hal yang sangat penting, yaitu Quality, Efficacy, Safety, efficiency. Di Indonesia pada umumnya kajian-kajian masih terbatas sampai pada tahap safety. Hal tersebut sangat berbeda negara maju dan negara tetangga, misalnya Thailand. Dalam penentuan decision making untuk obat maka Indonesia ketinggalan sekali dari Thailand. Di negara maju, obat yang baru agar bisa masuk ke decision making harus dilakukan kajian HTA-nya terlebih dahulu. Jarir menambahkan, akan tetapi saja juga obat yang tidak perlu dikaji misalnya vaksin karena dari sisi harga yang murah dan dampaknya juga besar. Negara yang maju akan sangat memperhitungkan society perspective untuk decision making. Untuk melakukan penghitungan harus kerjasama antara akademisi, medis, BPJS Kesehatan yang mempunyai data yang lengkap perihal pembiayaan pada pasien, serta industri farmasi. Tujuannya adalah agar policy dibuat sesuai dengan evidence-nya.

Pada sesi yang kedua dengan pembicara Auliya Suwantika, Apt, PhD menyampaikan materi tentang Economic modelling. Measurement hasilnya tidak bisa secara mentah dapat diambil untuk decision making. Decision analytic model menggunakan sintesis data, ketidakpastian dari input data, pemilihan decision yang tepat, clinical vs decision. Decision modelling merupakan hal yang penting di dalam evaluasi ekonomi dan pengambilan keputusan. Pada intinya tidak ada model yang sempurna, akan tetapi apabila dibuat dengan konsep dan desain yang baik akan sangat bermanfaat di dalam pengambilan keputusan dan dapat mengurangi uncertainty dan variability.

reporter: tiwi

[tabby title=”Pre-2″]

PLANNING THE UTILISATION OF DISTRICT TOBACCO TAX IN INDONESIA LANGKAH PEMANFAATAN DANA PAJAK ROKOK DAERAH UNTUK BIDANG KESEHATAN

Kebijakan dan Implementasi Pajak Rokok Daerah
(Drs. Matheus Agus Kristianto)

Peningkatan kekuatan perpajakan daerah bertujuan meningkatkan kemampuan daerah dalam menyediakan pelayanan publik, khususnya pelayanan kesehatan. Salah satu pajak daerah yang bisa dimanfaatkan adalah pajak rokok yang merupakan pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah sebesar 10% dari cukai rokok. Penyetoran penerimaan pajak rokok ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) Provinsi dilaksanakan secara triwulanan berdasarkan jumlah penduduk yang tercatat di Disdukcapil dan kemudian dibagikan ke kabupaten/kota sebesar 70% dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi. Dalam pasal 31 UU No. 28 Tahun 2009 disebutkan bahwa penerimaan pajak rokok baik di provinsi dan kabupaten/kota,dialokasikan untuk mendanaipelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang minimal 50%.Sisa penggunaan Pajak Rokok akan digunakan untuk tahun anggaran berikutnya. Maka, diperlukan monitoring evaluasi terhadap pembagian dan penyetoran pajak rokok, alokasi penggunaan penerimaan pajak rokok, pelaksanaan pedoman teknis penggunaan pajak rokok untuk kegiatan bidang pelayanan kesehatan.

Panduan Umum Penggunaan Dana Pajak Rokok untuk Pembangunan Daerah
(Theresia irawati, SKM, M.Kes)

Perubahan beban penyakit di Indonesia tahun 2010 menunjukkan angka Penyakit Tidak Menular (PTM) mencapai 58%, berbanding terbalik pada tahun 1990 dimana penyakit menular yang mendominasi sebesar 56%. PTM merupakan penyebab utama beban penyakit di Indonesia pada tahun 2015 (57%). Merokok, diet kurang serat, kurang aktivitas fisik, dan alkohol merupakan faktor risiko PTM. Data Global Report on Non Communicable Disease (NCD) menunjukkan bahwa prosentase kematian akibat PTM termasuk akibat rokok menempati proporsi sebesar 63% (WHO 2010). Indonesia merupakan negara dengan perokok laki-laki terbanyak di dunia (68,8%). PTM meningkat dengan penyebab terbesar akibat rokok, hal ini diakibatkan kurangnya kegiatan promotif dan preventif terkait kurangnya dana. Pemanfaatan dana pajak rokok dalam pelayanan kesehatan masyarakat, antara lain pembangunan/ pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan sosialisasi tentang bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok. Pada pelaksanaannya, masih adadaerah yang belum memahami penggunaan pajak rokok untuk bidang kesehatan, beberapa daerah belum bisa memanfaatkan dana Pajak Rokok, serta koordinasi antara provinsi dengan kabupaten/kota dalam pemanfaatan pajak rokok masih kurang.

Dampak Pajak Rokok Terhadap Kapasitas Fiskal Daerah
(Abdillah Ahsan, SE, MSE)

Prevalensi merokok mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, perlu upaya signifikan untuk mengurangi jumlah perokok karena beban ekonomi tahunan untuk tiga penyakit utama terkait produk tembakau mencapai Rp 39.5 triliun. Diperkenalkannya pajak rokok dalam UU No.28 tahun 2009 memperkuat kewenangan fiskal daerah dalam desentralisasi fiskal di Indonesia, secara umum akan meningkatkan kapasitas fiskal daerah karena pajak rokok bagian dari PAD dan secara khusus akan meningkatkan belanja kesehatan. Penerimaan cukai rokok pada tahun 2013 sebesar Rp. 104,7T, provinsi yang menerima dana pajak terbesar adalah Jawa Barat yaitu Rp. 1,8T (18,1%). Jumlah perkapita yang diterima tiap wilayah provinsi pada esensinya sama yaitu Rp.44.074. Kapasitas fiskal daerah secara rata-rata meningkat, provinsi sebesar Rp. 95,1 M dan kabupaten/kota sebesar Rp. 12,8 M. Kapasitas Fiskal mengalami penurunan meskipun tidak terlalu besar sesudah adanya pajak daerah.

[tabby title=”Pre-3″]

DIAGNOSIS CLASSIFICATION IN DRG PAYMENT

Pre-congress III tentang klasifikasi DRG dalam pembayaran DRG ini merupakan rangkaian acara dari Kongres Indonesia Health Economic Association pada hari pertama. Prof. Supasit Pannarunothoi dari Center for Health Equity Monitoring Foundation, Thailand menjadi pembicara pertama pada sesi panel pre-congress ini, dengan moderator dr. Luthfan Lazuardi, MD, MPH, Ph.D dari Simkes UGM. Pada sesi ini Prof. Supasit menjelaskan mengenai sejarah DRG, dimana DRG pertama kali diperkenalkan pada tahun 1977 dari Yale, dengan nama Yale’s DRG version, lalu pada tahun 1983 mulai diaplikasikan pada program medicare. Setelah tahun tersebut DRG dikenal juga di Australia dan di negara-negara Nordic. Latar belakang dipakainya cara pembayaran provider dengan DRG karena pembayaran provider dengan sistem Fee For Service terlalu mahal, serta pembayaran dengan metode kapitasi cenderung menimbulkan pemberian pelayanan yang kurang. Terbukti pada tahun 1998 Socio Security Act milik Thailand menggunakan metode kapitasi untuk pembayaran provider-nya dengan hasil rendahnya admisi (sekitar 3%).

Melalui kesempatan ini Prof. Supasit juga memaparkan mengenai pengembangan DRG di Thailand, yang disebut dengan TDRG. Thailand memulai studi mengenai DRG pada tahun 1993 melalui DRG pada kecelakaan dan kedaruratan, yang menghasilkan 100 DRG. Lalu pada tahun 1995 riset dilakukan pada seluruh pasien, menghasilkan 500 DRG, pada tahun 2003 DRG versi ke 3 diluncurkan dengan 12.000 DRG, dan pada tahun 2010 DRG versi 5 diluncurkan yang meliputi kasus akut dan sub akut serta kasus psikiati. Sistem DRG di Thailand ini merupakan single payer sytem pada multiple fund ( Social Security Scheme, Universal Coverage, dan Civil Servant Medical Benefit Scheme).

Menurut Prof. Supasit, hambatan dan kelemahan pengembangan DRG di Thailand yaitu masalah akuransi koding data, akuransi data mengenai biaya, kalibrasi, kumpulan data dari masing-msing MDC, sumber daya mencakup kompetensi dan jumlah pengelola, serta adanya kebijakan pembiayaan yaitu mengenai global cap. Sedangakan kunci sukses pada TDRG adalah adanya dana untuk riset yang berkesinambungan, adanya masukan dari kancah internasional, adanya orang-orang yang serius menggeluti bidang ini di berbagai aspek (finansial, koding program, dan audit), adanya pengendalian biaya dan efisiensi, teknologi informasi yang murah, terintegrasi, dan lebih cepat, melibatkan rumah sakit pendidikan dalam proses sosialisasi kepada masyarakat. Prof. Supasit memaparkan tantangan INA-CBG di Indonesia yaitu kurangnya pemahaman provider mengenai DRG, perlu adanya native grouper, lemahnya kapasitas tim Ina CBG’s. Serta adanya fraud< dan perlunya standardisasi pelayanan kesehatan dan pengendalian biaya.

Sesi kedua diisi oleh Dr. Atik Nurwahyuni, SKM, M.Kes mengenai Re-classification dan pengembangan INA-CBGs kedepannya. Terdapat beberapa hirarki dalam pengklasifikasian INA-CBGs, tahapan tersebut meliputi pengumpulan data dan perbaikan data-data yang diteruma, menyusun major diagnostic categories (MDC), selanjutnya mengelompokkan kasus-kasus pada dua kelompok besar (surgical dan medication), lalu melakukan adjacent DRG, selanjutnya tahapan DRG, proses yang terakhir yaitu analisis statistik. Melalui kesempatan ini, Dr. Atik juga memaparkan hasil penelitiannya yang berimbas pada penentuan besaran tarif. Terdapat pertanyaan menarpik dari moderator, dr. Luthfan , mengenai apakah negara kita berada pada track yang benar, Dr. Atik menjawab dengan bijak bahwasannya negara kita berada dalam jalan yang benar, yaitu mengadopsi sistem DRG, dan harusnya kita juga mengembangkan DRG dari hasil adopsian itu melalui penelitian-penelitian. Berkaca pada TDRG , yaitu kesuksesan Thailand diraih karena adanya riset-riset yang masif.

[tabby title=”Pre-4″]

HEALTH ECONOMICS EVALUATION ON DRUGS

Prof Hasbullah memulai Pre-congress ke-V dari rangkaian sesi paralel di hari pertama seminar Nasional InaHEA ke-3 yang bertempat di Hotel Alana Ruang Yudistira, Yogyakarta. Sesi ini dimulai dengan perkenalan bersama peserta yang datang dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda. Materi yang disampaikan oleh Prof. Hasbullah berjudul “Basic Concept of Health Economics”, Hasbullah menjelaskan tentang konsep dasar ilmu ekonomi sebelum ke sesi latihan pada sesi berikutnya, karena menurutnya, “kita harus perlu mengetahui suatu hal dimulai dengan “mengapa” kemudian baru dilanjutkan dengan “kenapa” kita perlu melakukan evaluasi ekonomi dalam kategori obat maupun bukan obat.

Menurut Hasbullah, beberapa kunci dari evaluasi ekonomi adalah informasi dan harga sebelum membuat decision making. Kesulitan yang masih sering dihadapi adalah sulitnya mencari informasi yang akurat dari sumber yang terpercaya. Mindset yang masih berkembang di masyarakat adalah harga mahal dari suatu barang merupakan kategori produk yang bagus (dalam hal ini obat) dan konsumen akan lebih loyal kepada dokter yang sudah terbiasa memberikan pelayanan kesehatan kepadanya. Menurut Hasbullah, health care tidak mengikuti prinsip ekonomi pasar, dimana dalam health care terdapat kompleksitas, dari segi kesulitan dalam mencari informasi; tidak ada kebebasan memilih oleh konsumen sebagai contoh ketika pasien diminta untuk melakukan operasi sehingga mau tidak mau konsumen akan memilihnya dan sedikit yang akan menolak anjuran tersebut; dan ketika kebutuhan keuangan tidak mencukupi dan JKN memberikan solusi dari masalah ini tapi muncul masalah baru dimana ketika semuanya telah ditanggung, konsumen akan memilih produk yang lebih mahal, sehingga dibutuhkan evaluasi ekonomi untuk membuat keputusan kebijakan ke depannya yang sesuai dengan kebutuhan.

Dari belanja obat di Indonesia pada tahun 2012 yang bernilai U$ 31,3/kapita/tahun, terlihat perbedaan jauh yang lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain, karena pada prinsipnya nilai yang lebih tinggi menunjukkan komitmen yang lebih besar dari suatu negara tersebut. Pembiayaan obat di Indonesia dikelola oleh Jaminan Kesehatan Nasional sebagai public finance. Jadi menurut Hasbullah yang perlu diperhatikan adalah metode dalam mendapatkan informasi yang akurat karena pemerintah mengaharapkan penggunaan e-catalog dalam pengadaan obat bisa memberikan kualitas obat yang baik dengan harga yang murah sehingga dibutuhkan kerja sama dengan BPOM dalam pengawasan kualitas obat.

Menurut Prof. Hasbullah, diharapkan kedepannya ketika dari segi pembiaayan baik dari pembiaayaan obat maupun di luar obat setelah dikontrol dengan menggunakan evaluasi ekonomi, kemudian dapat digunakan oleh konsumen yang berhak mendapatkannya agar uang publik bisa digunakan bersama-sama dengan penerima yang tepat.

Sesi terakhir dilakukan dengan tanya jawab, salah satu pertanyaan dari peserta yang bekerja di BPJS menanyakan tentang mengapa belanja kesehatan di Amerika sangat tinggi tapi health status yang dimiliki tidak tinggi. Menurut Hasbullah, “Amerika menggunakan asuransi komersial (asuransi pasar) yang mana sangat boros”. Berbeda dengan Indonesia dan negara lainnya yang menggunakan asuransi sosial dan/atau asuransi nasional yang bersumber dari pajak negara.

Sesi kedua dilaksanakan pada 10.23 Wib – 12.00 Wib dipresentasikan oleh Dr. drg. Mardiati Nadjib, MS dengan judul “Health economics evaluation methods”. Menurut Mardiati, evaluasi ekonomi sangat luas dan dalam melakukan evaluasi ekonomi harus melihat dari perspektif yang berbeda sesuai dari sisi mana kita akan menilainya. Ada tiga perspektif, yakni: perspektif dari segi pemerintah melalui Kemenkes dalam paket manfaat JKN, Perspektif RS dalam mengambil kebijakan untuk kepentingan rumah sakit, persepktif akademisi ketika melakukan studi evaluasi ekonomi.

Masalah yang dihadapi di Indonesia adalah proses HTA di Indonesia masih terpisah-pisah, berbeda dengan negara lain yang sudah terintegrasi. Menurut Mardiati, “studi efektifitness sudah banyak dilakukan diluar negeri sehingga kita bisa mengambil contoh-contoh ynag sudah ada untuk Indonesia”. Terdapat tipe-tipe ekonomi, yakni parsial jika hanya menghitung cost-consequences. Dalam panduan Kemenkes tentang HTA, ukuran yang dipakai HTA dalam banyak negara adalah utilitas karena berhubungan dengan pasien. Indonesia belum memiliki value set dan setiap negara memiliki value set yang berbeda sehingga dibutuhkan penghitungan untuk mendapatkan value set untuk Indonesia. Indonesia memiliki pandangan yang berbeda dengan kondisi kesehatannya, ketika sakit tapi masih bisa beraktivitas maka dianggap masih sehat padahal jika dihitung berdasarkan value utility adalah rendah. Langkah awal yang perlu dilakukan untuk evaluasi ekonomi adalah dimulai dengan menetapkan tujuan evaluasi, kemudian diakhiri dengan pengambilan keputusan apakah produk tersebut memberikan efektivitas yang lebih baik dibandingkan dengan produk yang lama.

Menurut Mardiati, tujuan dari memberikan paket manfaat adalah keberlangsungan sehingga dibutuhkan perhitungan dan pemodelan yang lebih kompleks dengan menggunakan model makrov. Kesimpulannya bahwa untuk menciptakan keberlangsungan jaminan kesehatan nasional melalui Kementrian Kesehatan tidak dapat berjalan sendiri karena setelah dilakukan penilaian berdasarkan evaluasi ekonomi kemudian diharapkan hasil dari evaluasi ekonomi dapat memberikan keluaran terakhir yakni “linking to policy” sehingga tidak ada lagi fragmentasi contohnya dalam HTA dan ini masih menjadi pekerjaan rumah untuk Kemenkes.

Pada sesi ketiga yang dimulai pukul 13.15 Wib -16.15 Wib berjudul “Cost and outcome (theory and cased base practical)” oleh Septiara Putri, SKM, MPH. Dalam sesi ini, dilakukan pelatihan dengan menggunakan metode simple “decision tree”. Peserta diberikan materi untuk melakukan pelatihan sehingga di akhir pelatihan diharapkan peserta dapat melakukan analisis sederhana untuk menghitung efetivitas biaya mengguanakan pohon keputusan.

[tabby title=”Pembukaan InaHEA ke-3″]

THE ECONOMICS OF PREVENTIVE HEALTH PROGRAMS TOBACCO AND HEALTH EQUITY UNDER JKN POLICY

Pembukaan

pembukaan-inahea-2016

Pembukaan InaHEA 2016

Kongres Indonesian Health Economics Association (InaHEA) ke-3 yang diselenggarakan di Hotel Alana Yogyakarta dibuka oleh Prof. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD selaku Ketua JKKI dan pembukaan selanjutnya disampaikan oleh Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH selaku Ketua InaHEA. Kongres InaHEA ke-3 dengan tema The Economics of Preventive Health Program, Tobacco and Health Equity Under JKN Policy dibuka secara resmi dengan pemukulan gong oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia yang diwakili oleh drg.Tritarayati, SH, MHKes selaku Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan serta menyampaikan bahwa Kementerian Kesehatan Republik Indonesia saat ini berfokus pada 3 pilar Program Indonesia Sehat yang terdiri dari Paradigma Sehat, Penguatan Pelayanan Kesehatan, Jaminan Kesehatan Nasional. InaHEA merupakan organisasi profesi dengan fokus mengenai ekonomi kesehatan dimana kongres yang ketiga diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 28-30 Juni 2016.

Diskusi Panel

Diskusi Panel InaHEA 2016

Diskusi Panel InaHEA 2016

Acara dilanjutkan dengan diskusi panel yang dimoderatori oleh DR. drg. Julita Hendrartini, M.Kes. Pembicara yang pertama yakni Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH memaparkan tentang implementasi JKN dan tantangannya. Saat ini dalam sistem kesehatan yang tercantum pada UU No. 36 Tahun 2009 dijelaskan pembagian kegiatan antara UKM yang dilaksanakan oleh pemerintah, dan UKP yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan. Prinsip intervensi kesehatan dalam kegiatan UKM diawali dengan promosi yang apabila tidak berhasil maka dilanjutkan dengan step selanjutnya yaitu special protection dan screening.

Isu yang masih beredar dari awal dilaksanakan JKN hingga sekarang ialah BPJS Kesehatan akan gulung tikar karena defisit pembiayaan. Kita ketahui bahwa pada tahun 2015 APBN mengalami defisit hingga Rp. 285 triliun. Hal ini biasa terjadi dan tidak akan mempengaruhi berjalannya program JKN. Penilaian terhadap BPJS Kesehatan dapat diketahui dengan tolak ukur yang dipergunakan yakni 9 Prinsip JKN yang terdiri dari gotong royong, nirlaba, terbuka, hati-hati, kepesertaan wajib, akuntabilitas, portabilitas,dana amanat, dan hasil pengelolaan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk  kepentingan peserta.

Pembicara kedua disampaikan oleh Prof. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD yang memaparkan tentang critical issues in JKN. Pooling program JKN saat ini hanya ada 1 tempat yakni di BPJS Kesehatan. Fenomena yang terjadi saat ini adalah rasio klaim yang tidak seimbang dimana pada kelompok non PBI mencapai lebih dari 500% dan PBI yang justru kurang dari 100%. Pertumbuhan rumah sakit saat ini juga tidak berimbang, karena pada Regional I yang terdiri dari provinsi yang berlokasi di Pulau Jawa mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, sementara paling rendah terjadi pada Regional V yang terdiri atas provinsi yang berlokasi pada Indonesia Timur. Masalah juga terjadi dari segi ekonomi, dimana GDP pada tahun 2007-2016 mengalami terus mengalami kenaikan yang tinggi namun pendapat yang bersumber dari pajak sangat rendah dan pertumbuhan cenderung sangat lambat. Solusi yang mungkin dapat diterapkan yakni sebaiknya dibuat suatu standar paket dasar dasar dan bukan seperti sekarang dimana benefit dari program JKN yang unlimited.

Pembicara terakhir disampaikan oleh Dr. Mundiharno yang merupakan Direktur Perencanaan Pengembangan dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan yang dimulai dari tahun 2014 telah menggunakan sistem single ID yang terintegrasi dengan NIK, namun hingga saat ini masih terdapat 40 juta data yang belum memiliki NIK terutama pada data PBI. Kepesertaan hingga 30 Juni 2016 telah mencapai 166,9 juta peserta dan pencapaian yang terendah terdapat pada kelompok Peserta Penerima Upah (PPU). Premi yang saat ini diterapkan untuk Kelas 1 telah sesuai dengan hitungan aktuaria, namun untuk Kelas 2 dan Kelas 3 masih dibawah hitungan aktuaria. Fenomena setelah dikeluarkannya Perpres No. 28 Tahun 2016 banyaknya peserta yang melakukan perubahan kelas menjadi Kelas 3 karena merasa keberatan dengan premi untuk Kelas 1 dan 2. Hingga saat ini pengeluaran BPJS Kesehatan untuk klaim penyakit masih sangat tinggi mencapai Rp. 15,92 triliun atau sekitar 33,62%. Fenomena lain yang terjadi per Juni 2016 yakni klaim terbanyak untuk penyakit kronis yang mencapai 12,8 juta kasus, dan pada pelayanan rawat inap untuk oprasi pembedahan caesar kecil sangat tinggi mencapai 221.918 kasus. Kesimpulan yang dapat disampaikan yakni masalah collecting untuk peserta PPU yang masih rendah, dan kualitas pelayanan yang dilihat dari sudut pandang keluhan masyarakat yang terjadi hingga saat ini masih tinggi.

Opening Ceremony

Welcome Speech
Prof. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD

Welcome Speech
Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH

Keynote Speech
Drg. Tritarayati, SH, MHKes

Critical Issues in JKN
Prof. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD

Implementasi JKN & Tantangannya
Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH

Tantangan Badan Penyelenggara dari Implementasi JKN
Dr. Mundiharno

Diskusi Termin 1

Diskusi Termin 2

Reporter: Wisnu Damarsari (WD)

[tabby title=”Siaran Pres”]

Potret JKN

Besar pasak daripada tiang: pemerintah lakukan buka tutup lubang untuk menutup defisit BPJS Kesehatan

  • JKN dirancang untuk menjamin seluruh penduduk mendapat layanan kesehatan sesuai kebutuhannnya (universal health coverage) terlepas dari kondisi keuangan penduduk. Perwujudan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat. Hampir 70 th setelah Merdeka, baru dimulai. Terlambat. Tetapi, lebih baik daripada tidak.
  • Pemerintah mulai memenuhi amanat UU No 36/2009 tentang Kesehatan, Anggaran Kesehatan APBN sebesar 5% total APBN, baru mulai Tahun 2016. Alhamdulillah. Tetapi, belum menyelesaikan masalah Pendanaan JKN.
  • Memasuki tahun ke-3, pelaksanaan JKN diprediksi masih akan mengalami defisit hingga Rp 9 Triliun dan Mutu Layanan JKN masih inforior, belum bagus. Mengapa? Akar masalahnya ada pada besaran iuran dan (karenanya) bayaran ke fasilitas kesehatan (kapitasi dan CBG) belum memenuhi nilai keekonomian.
  • Penyesuaian JKN akar permasalahan membutuhkan pemahaman utuh oleh semua pihak (Pemerintah, Pekerja, Pemberi Kerja, Tenaga Kesehatan, dan Masyakat umumnya sebagai pengawas). Pengawasan masih sangat lemah.

Ilustrasi seorang pasien peserta JKN. Matanya tampak sembab dan rambut berantakan. Keberuntungan masih berpihak padanya. Setelah antri sejak satu malam sebelumnya, pada esok harinya akhirnya ia mendapat urutan pertama pendaftar peserta JKN. Saat antri, beredar kabar, meski antri sejak malam, bisa saja dapat nomor besar karena urutan awal sudah diperoleh para calo. Lelaki setengah baya itu, rela bermalam di teras sebuah RS untuk mendapatkan nomor antrian agar orang tuanya yang sudah lanjut usia atau lansia dapat berobat.

Satu jam sebelum azan subuh, aktivitas antrian sudah terlihat di pintu. Cara antriannya pun terlihat cukup unik. Para pengantri berinisiatif sejak pukul 04.00 WIB sudah meletakkan helm atau sandal, topi, map, botol minuman, dan tas di lantai sebagai tanda pemiliknya mengantri, kemudian disusul pengantri berikutnya.

Jika saja orang miskin ditakdirkan Tuhan tidak bisa sakit, maka tentu tak ada orang antri nomor berobat seperti di rumah sakit itu. Orang miskin biasa susah. Antri untuk mendapatkan kebutuhannya sudah biasa. Yang tidak miskin? “Apa ini JKN!! Buruk sekali. Aku sudah sakit, disiksa lagi dengan menunggu berjam-jam untuk konsultasi. Bayar saja sendiri, atau beli asuransi lain lah!” Ini potret kesimpulan sebagian orang tentang JKN.

Kisah seperti ilustrasi diatas sudah sangat umum sejak JKN dijalankan 2 tahun yang lalu di negara kita tercinta. Akankah terus demikian? Apa saja yang jadi masalah dalam pandangan para akdemisi, pengamat, pakar, pemerintah, pengelola, pengawas, dan penduduk? Adakah solusi? Sebagian orang menyalahkan konsep JKN sebagai pemadam kebakaran, hanya mengobati, maka dana iuran tidak akan pernah cukup. “Seharusnya upaya preventif yang dijalankan, nanti tidak perlu JKN”. Benarkah? Tidak pernah terjadi di seluruh dunia. Tetapi,…memang banyak orang belum faham betul apa yang terjadi dan apa solusi yang tepat. Masalah kesehatan, di seluruh dunia, tidak pernah terselesaikan. Setiap sistem kesehatan memiliki masalahnya sendiri dan karenanya solusi harus terus dicari. Solusi selalu mencari perbaikan, dari sebelumnya. Tetapi, masalah baru selalu muncul sejalan dengan perubahan kebutuhan, ketersediaan, selera publik, dan pandangan petinggi negeri—dimana saja di dunia. Belajar dari dan ke pihak lain sepanjang hidup menjadi kebutuhan dunia. Forum seminar, kongres, diskusi, media sosial, publikasi/jurnal ilmiah cetak maupun elektronik; akan dan perlu terus dikembangkan sampai mayoritas penduduk merasa puas. Tidak pernah terjadi seluruh (100%) penduduk puas akan sistem kesehatan atau sistem apakan di suatu negara, yang paling kaya dan paling makmur sekalipun.

Kongres ke-3 InaHEA (Perkumpulan pakar ekonomi kesehatan) mencoba menggali masalah secara obyektif dan mencari potensi solusi. Jurnal Ekonomi Kesehatan diluncurkan agar berbagai permasalahan, potensi solusi, dan ide-ide lain untuk perbaikan terus menerus JKN diketahui semua pemangku kepentingan.

——————————————————————————————————————-

Yogyakarta, 29 Juli 2016Indonesian Health Economics Association (InaHEA) kembali menyelenggarakan kongres yang ke-3 dengan tema “The Economics of Preventive Health Programs, Tobacco, and Health Equity under JKN Policy, di Yogyakarta pada tanggal 28 – 30 Juli 2016. Kongres ini merupakan forum pertukaran informasi bagi para pakar dan pengelola kesehatan Indonesia dan internasional yang mencakup peneliti ekonomi kesehatan, praktisi, dan akademisi, pengeloa JKN, pengelola fasilitas kesehatan, yang berasal dari berbagai disiplin ilmu. Hasil “berbagi/sharing ilmu/” dalam kongres ini diharapkan dapat memberikan masukan bermakna bagi pemerintah, BPJS Kesehatan, dan pimpinan fasilitas kesehatan dalam upaya perbaikan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan perkembangan ilmu ekonomi kesehatan di Indonesia.

Naiknya anggaran belanja negara di bidang kesehatan

Sejak UU Kesehatan disahkan Tahun 2009 hingga 2015, belanja pemerintah untuk sektor kesehatan secara relatif naik-turun bervariasi antara 3,1 – 3,7 % dari APBN. Anggaran APBN tertinggi terjadi di tahun 2014 sebesar 3,7% dengan nilai nominal Rp 67,5 Triliun.   Pada APBN 2015 belanja kesehatan pemerintah mencapai sebesar Rp 71,1 Triliun tetapi prosentasenya turun menjadi 3,5% dari total APBN yang mencapai Rp 2.039,5 triliun.

Untuk pertama kalinya pada tahun ini, 2016, pemerintah menaikkan anggaran belanja negara di sektor kesehatan memenuhi amanat UU Kesehatan yaitu 5% APBN untuk fungsi kesehatan. Diperkirakan total belanja negara Tahun 2016 mencapai angka Rp 2.200 triliun. Dengan demikian belanja kesehatan pemerintah 5% APBN mencapai akan mencapai Rp 110 Triliun yang tesebar di Kementrian Kesehatan, BPJS Kesehatan, Bdan POM, BKKBN, pemerintah daerah, dan lembaga negara lain. Artinya perkiraan belanja kesehatan pemerintah di tahun 2016 naik Rp 30 – 40 triliun dari belanja kesehatan pemerintah tahun 2015. Berita baik dan tren menggembirakan.

Dalam JKN, belanja pemerintah diwujudkan dalam bentuk bantuan iuran bagi penduduk berpendapatan rendah (bukan hanya yang miskin) yang tahun 2016 mencapai 92,4 juta jiwa dengan bantuan iuran sebesar Rp 23.000 per orang per bulan. Dengan demikian jumlah total bantuan iuran oleh Pemerintah (pusat) yang disalurkan kepada BPJS Kesehatan, melalui anggaran Kementrian Kesehatan adalah sekitar Rp 25,5 Triliun. Atau kurang dari 25% belanja fungsi kesehatan Pemerintah yang Rp 110 Triliun. Artinya, belanja kuratif Pemerintah bukanlah yang terbesar. Namun, apakah belanja sisanya merupakan belanja preventif? Seharusnya demikian.

Tetapi, kenaikan iuran PBI (Penerima Bantuan Iuran) dan iuran bukan peserta PBI belum akan menyelesaikan masalah JKN. JKN memang telah mampu meningkatkan akses, khsusnya bagi mereka yang sebelumnya menderita penyakit kronis yang mahal biaya pengobatannya seperti Kanker, gagal ginjal, dan penyakit jantung. Sebelum JKN berjalan, sebuah studi ASEAN Cost in Oncology (ACTION) yang di Indonesia dilaksanakan oleh FKMUI menemukan bahwa lebih dari 70% pasien kanker tidak mampu meneruskan pengobatan ataupun mengalami kesulitan ekonomi rumah tangga. Dua pertiga pasien kanker menjadi lebih miskin, karena untuk berobat, mereka harus terpaksa berhutang atau menjual harta bendanya. Selain karena biaya berobat, sebaran fasilitas yang mampu mengobati penyakit berat seperti kanker masih sangat terbatas sehingge menimbulkan beban transportasi dan akomodasi pasien berpendapatan rendah. Pusat penanganan kanker di Indonesia terbatas hanya pada rumah sakit besar yang terletak di kota-kota besar. Jumlah dokter spesialis kanker dan peralatan medis yang terbatas menyebabkan penyediaan terapi kanker, penyakit jantung, dan gagal ginjal, masih sangat terbatas, meskipun kini JKN menjamin biaya pengobatannya.

Prof Laksono Trisnantoro, Chairman Indonesian Health Policy Network menyatakan bahwa akibat tidak seimbangnya fasilitas kesehatan dan sumber daya manusia kesehatan antar daerah, maka terjadi peningkatan ketidakadilan. Oleh karena itu Kemenkes hendaknya meningkatkan anggaran negara untuk membantu investasi sarana dan prasarana kesehatan di kab/kota dan provinsi dengan kemampuan ekonomi lemah. Gaji untuk tenaga kesehatan di daerah terpencil dinaikkan. Kemenkes berkewajiban menjamin pemerataan dan mengurangi ketimpangan pelayanan kesehatan. Disamping itu BPJS diharapkan segera menjalankan kebijakan kompensasi untuk daerah-daerah yang kekurangaan fasilitas dan tenaga kesehatan.

Financial sustainability dari sistem JKN

Pelaksanaan JKN telah mencapai keberhasilan dalam meningkatkan jumlah penduduk yang dijamin yang kini mencapai hampir 170 orang. Inilah sebuah sistem jaminan kesehatan terbesar didunia yang dikelola oleh satu badan, BPJS Kesehatan. Namun, besarnya jumlah peserta tidak menjamin kesinambungan. Kesinambungan JKN tergantung dari kecukupan dana terus menerus, kualitas layanan yang baik, dan kepatuhan peserta membayar iuran. Kualitas layanan yang baik dan kecukupan dana saling mempengaruhi. Dalam JKN, dana yang tahun ini diperkirakan menghabiskan Rp 75 Triliun, telah secara tepat dikendalikan melalui pembayaran kapitasi dan CBG. Hanya saja, besaran kapitasi ke dokter praktik swasta (baik praktik sendiri ataupun bersama di klinik) yang sampai saat ini hanya Rp 8.000 per orang per bulan, belum memadai. Sebagian besar tarif CBG ke RS swasta juga belum memadai, sehingga banyak RS berupaya mengakali (baca makalah prof Budi Hidayat dalam Jurnal EKI yang dibagikan soft copynya). Akibatnya kualitas layanan belum diterima baik, khususnya oleh pembayar iuran pekerja swasta maupun pegawai negeri.

Terjadinya defisit dua tahun berturut-turut dan diperkirakan akan terjadi lagi tahun ini, disebabkan kerena penetapan iuran oleh Pemerintah yang tidan memadai. Karena iuran yang tidak memadai, Pemerintah (Kemenkes) terpaksa juga menetapkan bayaran yang tidak memenuhi harga keekonomian untuk banyak layanan di RS swasta. Hal itu berdampak pada persepsi bruruk layanan JKN. Persepsi buruk layanan JKN akan menimbulkan ketidakpuasan peserta dan akan mengancam kepatuhan peserta membayar iuran. Siklus ini merupakan ancaman terbesar kesinambungan (sustainabilitas JKN). Oleh karenanya perlu digali sumber dana lain, yang paling layak dan siap tersedia adalah dari mobilisasi dana cukai rokok (baca artikel Hasbullah Thabrany, dalam soft copy Jurnal EKI yang dibagikan). Potensi dana cukai rokok untuk menutup JKN mencapai Rp 70 Triliun setahun.

Upaya menjamin efisiensi telah juga dilaksanakan dengan sistem pengadaan obat, yang menjadi komponen terbesar kepuasan peserta, melalui e-catalog dan e-purchasing. E-catalog dan e-purchasing merupakan terobosan bagus untuk mendapatkan obat dengan harga murah. Sayangnya, proses tender elektronik tersebut hampir seluruhnya mengandalkan harga termurah. Banyak peserta JKN masih meragukan Kualitas obat. Diharapkan, kedepan tender elektronik mempertimbangkan dimensi lain, seperti kualitas obat, reputasi perusahaan, jaminan pasokan dll. Penggunaan penilaian multi kriteria (bukan hanya harga) sudah dilakukan di China dan Viet Nam dan bagus untuk jadi contoh Indonesia.

“Butuh teroboson Presiden untuk memobilisai cukai rokok untuk guna menutup defisit dan SEKALIGUS memperbaiki kualitas JKN. Presiden berjanji dalam Nawa Cita untuk menaikan cukai rokok 200%” kata Guru Besar Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany.

Belanja JKN hanya 14% dari belanja kesehatan SELURUH rakyat (baik belanja pemerintah, iuran JKN, belanja kesehatan perusahaan, maupun belanja langsung –out of pocket-penduduk, yang diperkiran mencapai Rp 380 Triliun lebih. Padahal jumlah penduduk yang menjadi peserta JKN sudah mencapai 60% di tahun 2015. Idealnya, 60% penduduk peserta JKN menghabiskan minimal 40% belanja seluruh penduduk agar kualitas layanan JKN baik. Jadi, masih terjadi selisih relatif 26% agar JKN dapat membayar fasilitas kesehatan milik pemerintah dan milik swasta dengan harga keekonomian. Jika fasilitas kesehatan milik swasta sudah dibayar dengan harga keekonomian, maka seluruh fasilitas kesehatan milik swasta kan senang hati melayani peserta JKN dan antrian peserta JKN akan jauh lebih pendek.

Promosi kesehatan dan pencegahan penyakit

Hasbullah Thabrany menekankan, upaya promotif dan preventif harus dilaksanakan khususnya oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. Jika tidak, klaim JKN akan terus naik. Tantangan terbesar adalah menurunkan konsumsi rokok, khususnya pada anak, melalui upaya promotif-preventif yang gencar-terus menerus dan menaikan cukai rokok. Dana tersedia besar sekali. Seperti dikemukan diatas, dana APBN yang sekitar Rp 110 Triliun, hanya Rp 25,5 Triliun untuk JKN. Sisanya harus bisa digunakan pemerintah untuk upaya promotif-preventif yang masih sangat lemah. Selain itu, ada dana Pajak Rokok daerah yang tahun ini besarnya mencapai Rp 14 Triliun. “Pemda harus menggunakan dana pajak rokok ini untuk meningkatkan upaya promotif-preventif”, ujar Hasbullah Thabrany

Kembali ditekankan oleh Prof Laksono Trisnantoro, Chairman Indonesian Health Policy Network, bahwa kenaikan anggaran kesehatan di APBN harus dialokasikan dengan baik terutama kepada upaya pemerintah dalam promosi kesehatan, dan pencegahan penyakit.

Rekomendasi Kongres InaHEA ke-3

  1. Revisi besaran kontribusi; baik bagi PBI, maupun pekerja dengan berdasarkan analisa dan perhitungan dan proyeksi yang tepat. Jika Pemerintah belum percaya bahwa dana JKN kini masih belum memadai, sebaiknya Pemerintah membentuk Tim Kajian khusus yang terdiri dari pejabat kementrian keuangan, kementrian kesehatan, IDI, PDGI, PERSI, IAI, IAKMI, dll. Tujuannya adalah agar iuran dan bayaran ke fasilitas kesehatan swasta mencapai harga keekonomian yang dinamis.
  2. Efisiensi dan prioritas pengelolaan dana JKN harus terus dilakukan dengan memperkuat sistem kendali mutu dan kendali biaya yang masih lemah. Moral hazard dan fraud harus dideteksi terus menerus, dilakukan penegakan hukum, dan diumumkan ke publik. Untuk tekonologi baru, penerapan Health Technology Assessment harus dipercepat dan diperkuat. Pemerintah, khususnya Kemenkes, dan pemda harus terus menerus melakukan upaya promotif-preventif publik (penguatan Upaya Kesehatan Masyarakat) agar rakat produktif.
  3. Untuk menutup kesenjangan pasokan dokter, tempat tidur, dan kelengkapan lainnya, Pemerintah dan pemda harus meningkatkan investasi pembangunan infrastruktur, termasuk fasilitas diagnosa dan terapi secara merata. Dana kesehatan pemda hendakanya difokuskan pada pembangunan infra struktur kesehatan dan besaran bayaran CBG dan kapitasi hendaknya ditetapkan dengan mempertimbangkan insentif investasi di daerah dengan memperhitungkan besaran insentif investasi sebesar 20-30% dari besaran bayaran kapitasi/CBG.
  1. Investasi pada peningkatan kapasitas dokter untuk meningkatkan kualitas terapi dapat disediakan Pemerintah melalui beasiswa dan ikatan dinas dan menjamin dokter, dokter gigi, apoteker, dan nakes lain mendapat take home income yang layak, baik dari sumber dana JKN, dana Pemerintah, dana swasta, maupun dana pemda.

=== selesai ===

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD
Chairman Indonesian Health Policy Network:


Equity in Health Insurance

Fakultas Kedokteran UGM
Jalan Farmako Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Email: pusatkpmak@ugm.ac.id

Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH
Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
Gedung G, Lt 3, Ruang 311, Kampus UI, Depok
Email: info@cheps.or.id

__________________________________________________________________________________

Referensi:

  1. ACTION Study, The George Institute for Global Health (2015)
  2. Informasi APBN 2016, Direktorat Penyusunan APBN, Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Kesehatan
  3. http://print.kompas.com/baca/2015/04/08/Pemanfaatan-Cukai-Rokok-Berdampak-Banyak
  4. http://www.antaranews.com/berita/493060/kisah-antrean-pasien-bpjs
  5. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/04/13/131500926/Defisit.BPJS.Kesehatan.Diprediksi.Mencapai.Rp.7.Triliun.Tahun.Ini
  6. http://www.republika.co.id/berita/koran/publik/16/04/15/o5o3od23-defisit-bpjs-kesehatan-sulit-dihindari
  7. http://doa-bagirajatega.blogspot.sg/2016/04/rokok-dan-nawacita-hasbullah-thabrany.html

[tabbyending]

[tabby title=”Health Financing”]

Health Financing

Para Pembicara dan Moderator Sesi Pleno 2 (Dok PKMK FK UGM)

Para Pembicara dan Moderator Sesi Pleno 2 (Dok PKMK FK UGM)

Kongres Indonesian Health Economics Association (InaHEA) Ke-3 pada hari kedua yang diselenggarakan di The Alana Hotel and Covention Center Yogyakarta dilaksanakan Plenary Discussion sesi pertama dengan tema Health Financing dimoderatori oleh Prof. Budi Hidayat, SKM, MPPM, Ph.D.

Pembicara pertama dari Kementerian Keuangan yang diwakili oleh Drs. Purwiyanto, MA selaku Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara mengangkat tema Public Finance Policy in Indonesia: Support for Health Development. Pemerintah pada tahun 2015 telah menganggarkan untuk alokasi dana kesehatan tahun 2016 sebesar 5%. Berdasarkan dari Perpres No. 19 Tahun 2016 dan Perpres No. 28 Tahun 2016, maka iuran BPJS Kesehatan untuk PBI yang awalnya Rp.19.225 PMPB dinaikan menjadi Rp.23.000 PMPB. Jumlah PBI yang disubsidi oleh pemerintah juga mengalami kenaikan yang awalnya 88,2 juta menjadi 92,4 juta. Pada awal implementasi JKN pemerintah pusat telah mengalokasikan dana sebesar Rp.24,65 triliun, dan pada tahun 2016 mengalami kenaikan menjadi Rp.37,63 triliun. Investasi di bidang kesehatan sangat penting untuk pembangunan di Indonesia, karena kesehatan yang lebih baik akan meningkatkan harapan hidup dan produktivitas yang lebih baik. Komitmen yang kuat dibutuhkan untuk pengembangan kesehatan, mengingat defisit pembiayaan dalam Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. Pelaksanaan JKN menciptakan peluang yang lebih besar untuk sektor swasta untuk berinvestasi di industri kesehatan karena meningkatnya permintaan dan kurangnya pasokan.

Pembicara kedua oleh Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH membicarakan tentang Health Financing. Pembiayaan kesehatan merupakan suatu hal yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, misalnya dari Kementerian Keuangan yang memandang bahwa tidak ada uang untuk pembiayaan kesehatan serta fiskal yang tidak memadai, sementara dari Kementerian Kesehatan yang menyatakan bahwa alokasi dana untuk pembiayaan kesehatan terlalu sedikit, dan masih banyak lagi pendapat yang lain. Penghasilan dari dokter yang bekerja dalam asuransi kesehatan nasional antara Inggris dan Indonesia sangat berberda jauh, yakni di Inggris seorang dokter dapat memiliki penghasilan Rp.4,9 miliar dalam setahun sementara di Indonesia dokter tersebut hanya mempunyai penghasilan sekitar Rp.288 juta setahun. Masalah dalam dunia kesehatan yang sudah lama terjadi hingga sekarang yaitu tidak ada standar untuk market costs untuk kesehatan, serta tidak ada standar penghasilan untuk tenaga kesehatan. Syarat utama dalam mekanisme asuransi berkebalikan dengan mekanisme pajak, karena prinsip asuransi yaitu kecukupan dana. Solusi dalam permasalahan ini yaitu perlu diselenggarakan Benchmarking dengan negara lain. Belanja kesehatan di Indonesia saat ini masih di bawah 40% dari public health expenditures.

Pembicara ketiga oleh Prof. dr.Ascobat Gani, MPH., Dr.PH. membicarakan tentang sources and adequacy of public funding for public health. Bentuk dari pembiayan kesehatan terdapat beberapa macam, yakni partial, vertical, dan bias. Fungsi dari public health selama yang diketahui oleh masyarakat luas perlu diklarifikasi, karena fungsi yang sebenarnya yaitu untuk mengurangi risiko sementara fungsi asuransi yaitu perlindungan finansial. Public health akan berjalan dengan baik namun perlu dukungan dari pemerintah dalam pengalokasian anggaran kesehatan untuk menyediakan fasilitas kesehatan, SDM kesehatan, dan penunjang lainnya. Amerika Serikat pada tahun 2011 telah memiliki 10 fungsi esensial public health yang terbagi dalam 3 fungsi inti yakni assesment, health policy development, dan ensure. BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) yang saat ini telah berubah menjadi DAK non fisik diberikan langsung kepada sekitar 9.750 Puskesmas, namun itu hanya untuk biaya operasional dari kegiatan public health. DAK non fisik tahun 2016 mencapai Rp.2,4 triliun. Alokasi dana kesehatan dari APBD besarannya fluktuatif setiap tahunnya mengikuti dari fluktuatif besaran APBD, sementara kebutuhan untuk kesehatan tidak fluktuatif melainkan selalu naik. Disparitas antar kabupaten juga terjadi, meski memiliki kebutuhan yang sama. Public Health dari tahun ke tahun mengalami underfunding, dan subsidi untuk PBI meski telah mengalami kenaikan untuk 2016 mencapai Rp.25,5 triliun namun defisit JKN hingga tahun 2016 sekitar Rp.6,8 triliun. Kesimpulannya yaitu alokasi dana untuk UKM sebaiknya ditambah, tidak hanya mementingkan UKP saja.

Pembicara terakhir pada sesi pertama yakni Asrul Akmal Shafie Bpharm, PG Dip Health Econ, PhD yang membawakan presentasi dengan judul Health Technology Assessment in Universal Health Coverage. Realita dalam UHC saat ini yang mencakup pencegahan dan pengobatan, serta pengembangan sistem kesehatan yang menyertai semua intervensi rata-rata $42 per kapita di 49 low-income country pada tahun 2009 dan mengalami kenaikan menjadi $65 pada tahun 2015. Fiscal space untuk menjaga sustainabilitas terdapat 4 inti utama yakni external support, domestic revenue, deficit financing, reprioritization/efficiency. HTA dibutuhkan dalam UHC memiliki beberapa fungsi yaitu reduce inefficiency, making sense of evidences, increasing choice of technology, finite budget & resource constraint. HTA merupakan multi-disiplin dari analisis kebijakan yang mengkaji implikasi medis, ekonomi, sosial dan etika dari nilai tambahan, difusi dan penggunaan teknologi medis dalam peayanan kesehatan. Gaps dalam evidence untuk HTA yakni minimnya penelitian, design penelitian yang lemah dan minimnya pelaporan, tidak konsisten antar penelitian, kurangnya tindak lanjut.

Public Finance Policy in Indonesia Support for Health Development
Drs. Purwiyanto, MA

Health Financing
Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH

Source and Adequacy Public Funding for Public Health
Prof. Dr. Ascobat Gani, MPH., Dr.PH

Diskusi

Repoter: Wisnu Damarsasi

[tabby title=”Tobacco Economic”]

Tobacco Economic

Para Pembicara dan Moderator Sesi Pleno 2 (Dok PKMK FK UGM)

Para Pembicara dan Moderator Sesi Pleno 2 (Dok PKMK FK UGM)

Plenary Discussion 3rd InaHEA pada sesi kedua dimoderatori oleh DR. Rohani Budi Prihatin M.Si dengan tema Tobacco Economic. Pembicara pertama oleh Abdillah Ahsan, SE, MSE dengan judul Cukai Rokok Sebagai Sumber Pendanaan Kesehatan. Terdapat 4 kategori utama dalam menghitung GDP yakni konsumsi masyarakat, investasi, pengeluaran pemerinta, dan ekspor. Perkembangan realisasi pendapatan cukai tahun 2010-2015 mengalami kenaikan, dan pada tahun 2015 mencapai Rp.145.739,9 miliar. Pajak untuk tembakau diperlukan karena kita ketahui bahwa tembakau tidak baik dan untuk konsumsinya perlu dikurangi untuk menyelamatkan kehidupan dimana peduduk yang sehat makan akan lebih produktif. Amanat konstitusi dalam pengendaliakn konsumsi rokok tercantum dalam UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai Pasal 2 ayat 1 dimana dijelaskan bahwa konsumsi perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Kita ketahui besaran pajak untuk tembakau yakni bea cukai tahun 2016 sebesar 35,1% dan maksimalnya 57% dari harga retail, pajak untuk rokok lokal sebesar 10% dari bea cukai, dan VAT sebesar 8,7% dari bea cukai. Dana Cukai Rokok bisa membantu menambal defisit JKN sekitar Rp.8 trilliun, selain itu dana cukai rokok bisa membantu selisih antara iuran ideal dan iuran aktual yang saat ini ada. Dana cukai rokok juga bisa membantu membayar iuran bagi pekerja bukan penerima upah (PBPU) yang miskin dan rawan miskin.

Pembicara kedua oleh Dr. Rachel A. Nugent yang merupakan Vice President Global Chronic Noncommunicable Diseases Global Initiative, RTI Internasional. NCDs merupakan penyakit yang banyak terjadi pada negara berkembang dibandingkan dengan negara maju. Penyakit yang termasuk NCDs pada beberapa negara berkembang mencapai 86%. Apabila dilihat dari segi jenis kelamin, maka antara pria dan wanita tidak berbeda dan prosentase penderita NCDs sangat tinggi terutama pada daerah Afrika. Penyebabnya yaitu konsumsi rokok, konsumsi alkohol, kurangnya kegiatan fisik, dan konsumsi makanan yang tidak sehat. Biaya yang dibutuhkan dalam penanganan NCDs setiap tahun mengalami kenaikan dan antara sekarang hingga 2030 secara global akan mencapai lebih dari $47 triliun. 65% kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit tidak menular. 65% pria di Indonesia merupakan perokok aktif, dan 13-15% perokok aktif yang ada di Indonesia mengalami kematian. Indonesia dikenal sebagai Baby Smoker Country, karena banyaknya anak usia muda yang menjadi perokok aktif. Hipertensi merupakan penyakit lain yang banyak terjadi di Indonesia, karena penduduk Indonesia mengkonsumsi garam 8,5 gram per hari dan 41% didiagnosa hipertensi.

Pembicara ketiga oleh Dr. Eduardo P. Banzon M.D., Msc. yang berlangsung melalui fasilitas webinar. Kondisi yang sering terjadi dalam Universal Health Coverage yakni terdapat masyarakat yang mampu namun tidak mau untuk melakukan pembayaran, selain itu terdapat masyarakat yang tidak mampu untuk melakukan pembayaran. Sin tax atau dalam Bahasa Indonesia adalah pajak dosa, merupakan pengalokasian untuk mengontrol tembakau. Sin tax tersebut digunakan untuk pembiayaan penyakit tidak menular, dan ini sudah dilaksanakan di beberapa negara seperti Algeria, Costa Rica, Nepal, dan Panama. Filipina merupakan negara dengan perokok aktif terbanyak di Asia Tenggara, selain itu memiliki harga jual dan pajak rokok yang terendah. Implementasi pengalokasian sin tax dengan pembagian 80% untuk jaminan kesehatan nasional dan 20% untuk tenaga kesehatan serta peningkatan fasilitas kesehatan. Hasil dari implementasi tersebut prevalensi untuk perokok menurun dari 25,4% menjadi 23,3% pada tahun 2013, penurunan perokok pada usia muda dari 6,8% menjadi 5,5% pada tahun 2013, serta penurunan konsumsi alkohol dari 48,3% menjadi 44,9% pada tahun 2013.

Cukai Rokok Sebagai Sumber Pendanaan Kesehatan
Abdillah Ahsan, SE, MSE

The Economic Imperative for Prevention and Control of Global NCDs
Dr. Rachel A. Nugent

Sin Taxes. Earmarks and UHC
Dr. Eduardo P. Banzon M.D., Msc

Diskusi

Repoter: Wisnu Damarsasi

[tabbyending]

Sesi Paralel

[tabby title=”Pnl 1″]

Tobacco Economic

Hari kedua dari rangkaian seminar nasional InaHEA ke-3 yang bertempat di hotel Alana Yogyakarta dibagi dalam beberapa panel. Panel pertama mulai pukul 13.00-15.00 WIB di ruang yudistira yang bertema tentang “Tobacco Economics” yang dimoderatori oleh Prastuti Soewondo. Sesi pertama ini menampilkan empat presentasi oral abstrak


Public Support to Increase Cigarette Price and Excise to Finance UHC

Penulis : 1. Zahrina; 2. Hasbullah Thabrany
Penyaji : Zahrina

zahrina

Zahrina

Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok yang cukup besar, Zahira mengatakan bahwa studi menunjukkan laki-laki merupakan konsumen perokok tertinggi dan setiap tahunnya mengalami kenaikan. Prevalensi perokok pada orang dewasa meningkat tajam dari 27% (1995) menjadi 36,3% (2013). Peningkatan penggunaan rokok meningkat selaras dengan peningkatan produksi rokok, jadi peningkatan cukai rokok yang tinggi di Indonesia tidak signifikan diakibatkan karena penggunaan rokok yang tinggi. Zahira mengatakan jika konsumsi rokok dapat mengakibatkan penyakit dan akan berdampak pada meningkatnya klaim dari JKN sehingga memberikan dampak yang lebih serius pada defisit JKN.

Zahira mengatakan bahwa responden mengetahui akan bahaya dari rokok namun sebagian besar sulit untuk berhenti mengkonsumsi rokok. Tingginya prevalensi perokok di Indonesia dipengaruhi oleh harga rokok yang murah, apalagi kemudahan dalam medapatkan rokok di likungannya khususnya dikalangan remaja. Dari penelitian yang dikemukakan oleh Zahira, sebagian besar masyarakat lebih banyak yang setuju dan sepakat jika harga rokok dinaikkan dan alokasi cukai rokok digunakan untuk keberlangsungan JKN, sehingga ada win win solution karena masyarakat mendukung. Dana dari cukai rokok dianggap sangat potensial untuk digunakan dalam mengurangi konsumsi rokok diindonesia dan menambah pendapatan negara, serta dapat diperuntukkan juga untuk pembagunan yang strategis di Indonesia. Hasil penelitian yang dipaparkan oleh Zahira merekomendasikan agar pemangku kebijakan mengetahui dan mendukung segera dilakukannya revisi UU cukai dan menaikkan tarif minimum 60% sesuai rekomendasi World Bank.


Pemanfaatan JKN dengan status merokok di Indonesia Tahun 2015

Penulis : 1. Arinditya Septiandri P; 2. Zahrina Laborahima; 3. Hasbullah Thabrany
Penyaji : Arinditya Septiandri P

Arinditya-Septiandri-P

Arinditya Septiandri P

Penelitian yang disampaikan oleh Arinditya merupakan subpenelitian dari penelitian Zahira dan rekan yang berjudul “Public Support to Increase Cigarette Price and Excise to Finance UHC” pada presentasi sebelumnya. Penelitian ini ingin melihat pemanfaatan Jaminan Kesehatan Nasional oleh perokok setelah dua tahun penerapan JKN. Hasil yang diperoleh dari penelitian menunjukkan bahwa peserta JKN yang merokok lebih banyak menggunakan fasilitas kesehatan rawat jalan, dan memiliki resiko yang lebih besar untuk memanfaatkan layan kesehatan rawat jalan dibandingkan yang tidak merokok. Hasil akhir menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara status merokok peserta JKN dengan pemanfaatan layanan kesehatan jenis rawat inap.


The Study of The Number of Pulmonary Tuberculosis Patients in North Sumatera

Penulis : 1. Destanul Aulia; 2. Sri Fajar Ayu
Penyaji : Destanul Aulia

Destanul mengatakan “jumlah pasien tuberculosis di Indonesia terus meningkat setiap tahun dan berada pada ranking ke 7 di dunia”. Masalah yang masih dihadapi di Sumatera Utara dalam penelitian adalah susahnya dalam mengumpulkan data. Menurut Destanul, variabel-variabel yang berada dalam satu model dalam penelitiannya dalam jangka panjang akan memberikan pengaruh terhadap tuberculosis sehinga adjustment kebijakan diperlukan. Langkah yang perlu dilakukan untuk mengurangi penyakit tuberculosis salah satunya adalah dengan mengontrol populasi, dan mengurangi kemiskinan karena Destanul mengutarakan bahwa program yang sudah ada belum menghsasilkan peningkatan keberhasilan yang real dan masih kurangnya fasilitas kesehatan, sehingga diperlukan dukungan dari berbagai pihak.


Tax on Household Health and Finances in Rich and Poor Smokers in China: An Extended Cost-Effectiveness Analysis

Penulis : 1. Stéphane Verguet; 2. Cindy Gauvrau; 3. Mary MacLennan; 4. Sujata Mishra; 5. Shane Murphy; 6. Elizabeth Brouwer; 7. Rachel Nugent, Ph.D; 8. Kun Zhao; 9. Prabhat Jha; 10. Dean Jamison
Penyaji : Rachel Nugent, Ph.D

Rachel-Nugent-Ph.D

Rachel Nugent, Ph.D

Penelitian yang dilakukan oleh Rachel dan rekan di China menunjukkan bahwa pajak dari tembakau mengurangi kematian dini yang berhubungan dengan rokok dan meningkatkan pendapatan pemerintah, tapi masih menimbulkan kritikan karena dianggap tidak proporsional mempengaruhi orang miskin. Peserta yang mengikuti pemaparan ini bertanya tentang hal yang pertama kali dipilih dari menurunkan konsumsi perokok atau penurunan kemiskinan, karena kemiskinan juga memberikan dampak pada kesehatan. Rachel menjelaskan bahwa hal tersebut tidak dapat dipilih mana yang terlebih dahulu karena banyak faktor yang mempengaruhi, namun untuk negara China menurunkan kemiskinan dapat memberikan win win solution


Reporter : Rani Kusuma (RK)

[tabby title=”Pnl 2″]

Health Financing Policy

Oral Session di hari ke 2 di 3rd INA HEA Congres di Ruang Arjuna mengangkat tema Health Financing Policy yang dimoderatori oleh Ibu Kurnia Sari.

Pemaparan oral pertama oleh Darius Erlangga mengakat judul Inequity in health care utilization and out of pocket health expenditure before and after the implementation of jamkesmas. Penelitian ini menggunakan data IFLS 2007 dan 2014. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengeksplore pemerataan (equity) pemanfaatan pelayanan kesehatan dan pengeluaran out of pocketsebelum dan sesudah memiliki jaminan kesehatan. Kesimpulan yang diungapkan oleh peneliti adalah terdapat indikasi ketidakseimbangan pemanfaatan pada masyarakat miskin dan pengeluaran biaya kesehatan. Dipaparkan juga masyarakat miskin mengakses pelayanan kesehatan hanya berdasarkan kebutuhan (need) khususnya pelayanan rawat inap.

Untuk pemaparan oral kedua yang disampaikan oleh Eko Setyo Pambudi meneliti tentang Pengurangan biaya out of pocket pada pelayanan kesehatan di Indonesia. Dijelakan peneliti bahwa Universal health Coverage memiliki 3 dimensi utama yaitu besar kepesertaan (population coverage), cakupan pelayanan (service coverage) dan cakupan pembiayaan (cost coverage). Biaya out of pocket pada pelayanan kesehatan yang sarankan adalah tidak melebihi 25% dari pengeluaran rumah tangga. Diperlukan pengurangan biaya out of pocket pada pelayanan kesehatan dikarenakan akan berdampak pada peningkatan efisiensi, menjadikan akses pelayanan menjadi lebih baik khususnya diantara masyarakat miskin, dan terhindar dari kejadian penyakit katastropik.

Pemaparan penelitian ke 3 oleh Erry Setiawan yang mengambil judul Local Goverment Capacity in Financing TB Program: An Exit strategy before termination of GF ATM. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh prorsi pembiayaan dari GF selalu lebih besar dari porsi pengeluaran dari APBN sehingga tujuan penelitiannya adalah membandingkan besaran kebutuhan program berdasarkan SPM dengan total anggaran program TB yang telah dialokasikan. Sample pada penelitian ini yang memenuhi kreteria inklusi dan eksklusi adalah adalah kabupaten garut yang memiliki Kapasitas Fiskal rendah dan Cirebon yang mewakili kebijakan fiskal tinggi. Kesimpulan pada penelitian ini adalah di kedua daerah tersebut ada kesenjangan jumlah anggaran yang dibutuhkan dengan besaran anggaran yang telah ditetapkan. Dengan keluarnya GF ATM diharapkan melakukan advokasi kepada Pemerintah dan DPRD untuk dapat pengalokasian dana khusus untuk mengurangi kasus TB.

Novianty Br. Gultom

Novianty Br. Gultom

Pemaparan oral ke 4 disampaikan oleh Novianty Br. Gultom. Yang mengangkat judul Proteksi Pembiayaan Kesehatan melalui JKN dengan mengambil focus penelitian adalah pembiayaan out of pocket pada pasien rawat inap. Salah satu hasil penelitian yang didapat adalah insiden biaya tambahan banyak dilakukan terkait dengan biaya obat. Insiden pemberian resep obat pada pelayanan RJTL lebih tinggi dibanding dengan pada pelayanan RITL, diduga terkait dengan pemberian obat pada pasien penyakit kronis rawat jalan, dimana pola pemberian obat pada pasien penyakit kronis adalah 7 hari dicakup CBGs dan 23 hari dibayar melalui skema Non CBGs.

Pemaparan terakhir pada sesi pertama disampaikan oleh Diah Ayu Pusandari yang mengangkat judul Pelayanan Homecare pada pasien stroke di Era JKN. Selanjutnya peneliti menjelaskan bahwa Home care mendorong kesembuhan pasien karena perawatan dilakukan di rumah, tempat yang penuh dengan rasa nyaman, dan juga keterkaitan antara fisik dan emosi. Tujuan penelitian ini adalah untukmenghitung cost effectiveness layanan homecare dibandingkan dengan layanan rawat jalan tanpa home care. Hasil yang didaptkan adalah pelayanan homecare memiliki peranan penting pada pasien stroke. Kesimpulan akir yang diungkapkan peneliti adalah pelayanan homecare lebih cost effective dibandingkan dengan rawat jalan di Rumah Sakit.

Reporter : Dewi A

[tabby title=”Pnl 3″]

Social Behavior of Participant in Health Insurance

Unun-Khamida

Unun Khamida

Sesi ini berlangsung di ruang Arjuna, dimulai sejak pukul 13.00 WIB sampai dengan 15.00 WIB dengan moderator Dr. Mubasysyir Hasanbasri, MA. Penyaji pertama adalah Unun Khamida dari CHEPS UI yang memaparkan tentang The Effects of Pro-Poor Health Insurance on Health Facility Delivery (HFD) and Skilled Birth Delivery (SBD) In Indonesia: Lessons learned from jamkesmas. Kematian ibu merupakan tantangan kesehatan masyarakat yang sangat besar secara global. Sekitar 800 wanita meninggal setiap hari di dunia karena melahirkan dan penyebab terkait kehamilan, dan sebagian besar ini terjadi di negara berkembang. Perempuan miskin dan pendidikan rendah menjadi risiko tinggi untuk kematian ibu. Kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas Jamkesmas di kalangan perempuan miskin di Indonesia dengan menggunakan analisis sekunder SDKI tahun 2007-2012 dan didukung data kualitatif di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. Hasil kajian ini, didapatkan bahwa Jamkesmas meningkatkan HFD dan SBD di kalangan perempuan miskin dibandingkan dengan perempuan tidak miskin dengan selisih 7,5% dan 8,4%. Perempuan miskin dengan Jamkesmas lebih cenderung memiliki HFD 21% dan SBD 20% dibandingkan dengan perempuan miskin tanpa asuransi kesehatan. Persepsi bahwa asuransi kesehatan tidak penting, kurangnya identifikasi yang valid dari pemerintah, kesalahan identifikasi masyarakat miskin, komitmen pemerintah daerah, dan pendekatan berbasis masyarakat menjadi alasan masih adanya masyarakat belum memiliki jaminan kesehatan. Diharapkan dengan jaminan kesehatan dapat mengurangi hambatan finansial untuk meningkatkan serapan pelayanan kesehatan dan berkontribusi terhadap rekomendasi kebijakan untuk keberhasilan pelaksanaan jaminan kesehatan yang berpihak pada masyarakat miskin di Indonesia.


Haerawati-Idris

Haerawati Idris

Haerawati Idris dari FKM Universitas Sriwijaya menjadi penyaji kedua yang memaparkan kajian tentang Determinants of Health Insurance Ownership in Informal Sector: Evidence from Indonesia Family Life Survey dan berfokus pada analisis triangle kebijakan publik jaminan kesehatan. Proporsi besar dari sektor informal merupakan karakteristik umum yang ditemukan di banyak negara berkembang. Sektor informal di Indonesia berkisar antara 60 dan 70% dari seluruh pekerja. Sistem jaminan kesehatan belum sepenuhnya meng-cover pekerja informal. Kebijakan jaminan kesehatan di Indonesia terus mengalami perubahan dalam pencapaian UHC. Hasil analisis triangle menunjukkan bahwa peraturan JKN yang ada hanya melibatkan peran pelaku kebijakan resmi sedangkan kelompok berkepentingan (serikat pekerja sektor informal dan paguyuban sektor informal) belum diikutsertakan. Kebijakan pun belum mampu membiayai pelayanan yang membutuhkan biaya pengobatan yang besar. Secara proses, lahirnya kebijakan yang ada melalui proses top down dan dipengaruhi berbagai faktor ekonomi, politik dan internasional. Kebijakan jaminan kesehatan perlu dikembangkan sehingga nantinya mampu menjamin sektor informal secara menyeluruh.


Faisal

Faisal Mansur

Penyaji ketiga, Faisal Mansur dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan FK UGM memaparkan tentang Beban Ganda Masyarakat Miskin Pengguna Jaminan Kesehatan dalam Menjangkau dan Memanfaatkan Layanan Kesehatan di Nusa Tenggara Timur. Jamkesmas menjadi kebijakan pemerintah pusat untuk masyarakat miskin menghadapi kesulitan finansial pemanfaatan pelayanan kesehatan, meskipun belum meng-cover di semua daerah. Selain Jamkesmas, Jamkesda ikut menopang dalam jaminan kesehatan masyarakat miskin. Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki wilayah kepulauan dengan jumlah fasilitas dan tenaga kesehatan terbatas menjadi sebuah tantangan dalam implementasi jaminan kesehatan. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran perbulan masyarakat miskin pengguna jamkesmas atau jamkesda untuk biaya kesehatan sekitar 1,7 % dari total pengeluaran rumah tangga. Masyarakat yang menggunakan fasilitas rawat jalan sebesar 27% mengeluarkan biaya tambahan dibawah Rp 100.000. Sebesar 15% masyarakat mengeluarkan biaya rawat inap pada kisaran dibawah Rp 500.000. Tidak tersedianya obat di fasilitas kesehatan, biaya transportasi menjadi alasan penambahan biaya, namun ada juga masyarakat yang tidak mengetahui alasan penambahan biaya tersebut. Pasien rawat jalan sebesar 76% dengan pengeluaran rata-rata mencapai Rp 30.600, sedangkan pasien rawat inap sebesar 58% mengeluarkan biaya transportasi rata-rata 28.179. Jamkesmas/Jamkesda belum sepenuhnya dapat mengatasi beban finansial masyarakat miskin, maka diperlukan adanya kebijakan pemerintah setempat untuk membangun dan melengkapi fasilitas kesehatan yang memadai, dan pelayanan kesehatan yang mampu menjangkau daerah jauh dan terpencil.

Kajian selanjutnya membahas tentang Faktor-faktor Ketidakpatuhan Peserta PBPU Membayar Iuran Tahun 2015 yang ditulis oleh Eka Pujiyanti, Mahlil Ruby, Dinda Srikandi, Deddy Siregar. Jumlah peserta JKN kelompok Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) per 31 Januari 2015 tercatat 9.052.859 jiwa, tetapi premi sampai bulan Desember 2014 yang tidak tertagih mencapai Rp. 600 M (31%). Terkait sulitnya pengumpulan iuran yang berkesinambungan menjadi dasar untuk dikaji lebih lanjut tentang faktor-faktor apa saja yang menyebabkan peserta PBPU menunggak premi. Kajian dilakukan terhadap peserta PBPU BPJS Kesehatan yang sedang atau pernah menunggak iuran 2-6 bulan dan/atau lebih dari 6 bulan. Analisis regresi menunjukkan keadaan kesehatan peserta pada saat mendaftarkan diri ke BPJS Kesehatan dalam keadaan sakit lebih berisiko menunggak dibandingkan yang mendaftar dalam keadaan sehat. Peserta PBPU perempuan berisiko menunggak 1,5 kali daripada laki-laki. Peserta yang tinggal di wilayah pedesaan berisiko lebih tinggi dibandingkan dengan yang tinggal di wilayah perkotaan. Penghasilan yang tidak menentu, malas mengantri, dan alasan lainnya (ATM offline, proses yang lama ketika membayar, sudah bayar tapi tercatat belum bayar dan lain-lain), lupa, kecewa dengan pelayanan BPJSK atau faskes menjadi alasan peserta PBPU tidak dapat membayar iuran secara rutin. Pemerintah di beberapa negara mendesain skema subsidi, baik menurut besaran upah pekerja, jumlah anggota rumah tangga yang harus ditanggung, PBPU kelas 3, atau pun indikator sosial ekonomi lainnya.

Kajian terakhir dalam panel 3 ini adalah Factors Associated with Adherence to JKN Contribution Payment among Members from Informal Sector Workers: A Cases of Caesarean Section Patient’s Family in 2015 yang ditulis oleh Mira Nurfitriyani dan Kurnia Sari dari Universitas Indonesia. Tingginya kasus operasi caesar dan kontribusi pembayaran yang rendah dapat mempengaruhi sustainability JKN. Selama 2015, operasi caesar merupakan kasus terbesar di sektor informal BPJS Kesehatan Depok (59%), sedangkan kontribusi premi sektor informal hanya mencapai 63%. Hasil kajian menunjukkan adanya hubungan antara kepatuhan membayar premi JKN dengan masa tunggu pasien melahirkan setelah pembayaran premi, manfaat yang dirasakan saat melahirkan, memiliki riwayat pengobatan setelah melahirkan (baik untuk pasien dan anggota keluarga), dan kepala rumah tangga dengan usia lebih tua dari 34 tahun, pendidikan tinggi, memiliki pendapatan lebih dari upah minimum Kota Depok pada tahun 2015, statusnya sebagai anggota JKN, memiliki pengetahuan yang baik dan sikap terhadap JKN, dan tidak memiliki hambatan untuk membayar premi JKN. Maka, diperlukan adanya kemitraan JKN dengan pemangku kepentingan lainnya dan upaya pemberdayaan masyarakat.(DM)

Reporter : Dwi Meliastuti

[tabby title=”Pnl 4″]

Good Governance I

pararel-4-goverment-1

Suasana diskusi pada panel IV


Desain Koordinasi Manfaat Ditegah Isu Efisiensi Dan Mutu Jaminan Kesehatan Nasional

Oleh: Mahlil Ruby

JKN yang  sudah berjalan ini masih mendapatkan ganjalan dari BUMN yang masih enggan untuk menjadi bagian dari JKN. JKN masih membutuhkan waktu misalnya saja perubahan budaya BPJSK, FFS ke INA CBGs, Yankes (SDM, Faskes) yang terbatas dan iuran masih terbatas. Metode dengan menggunakan FGD dengan  badan usaha (BU) askom, pakar hukum, BU yang telah menjadi peserta dan belum menjadi peserta BPJSK

Koordinasi manfaat yang biasa dikenal dengan istilah COB telah diatur dalam Perpres No. 19/2016 yang menyebutkan adanya koordinasi manfaat. COB masih menjadi mekanisme peserta untuk menggunakan haknya sebagai peserta JKN dan COB. Sebagian BU harus mengeluarkan dana dobel dimana peserta BU harus menjadi peserta JKN dan terpakasa Askom dan tetap menyediakan pelayanan kesehatan sendiri. COB berlaku hanya untuk yang naik kelas. Integrasi peserta belum dapat berjalan dengan baik. BPJS masih terkendala dengan IT mereka sendiri.  RS bisa mengambil inisiatif sendiri untuk mengambil dari BPJSK dan langsung ke perusahaan asuransi lainnya. Askom tidak mau adanya moral hazard sehingga tidak merugi.

 


The Role of Community Based Program Againts Non-communicable Disesases A Systematic Review

Oleh: Evvi Rotua

Penyakit tidak menular merupakan beban penyakit yang sangat besar dan terjadi hampir di seluruh dunia. 16 juta orang meninggal di usia dibawah 70 tahun dan 80% nya terjadi di negara berkembang.

Tujuan penelitian ini sebagai review untuk melihat efektivitas Community Based Program untuk mengurangi penyakit tidak menular dengan menggunakan review terhadap penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya atau yang dikenal dengan systematic review. Dari 27.795 artikel yang dipilih kemudian diskrinning menjadi 7 artikel yang dianalisis. Skrinning dilakukan dengan menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi.

Berdasarkan hasil review dapat diketahui bahwa faktor yang dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap penurunan jumlah kasus NDC terhadap community based program. NCD bisa dicegah dengan menggunakan upaya-upaya promotif. Peran komunitas sosial dapat meningkatkan quality of life dari seseorang.


Building governance of health service delivery in Easternmost Indonesia districts

Oleh: Eddi S. Rahmat

Penelitian ini dilakukan di Papua untuk mencari teknik yang inovatif dan untuk melibatkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Kegiatan dievaluasi dengan melihat kapasitas organisasi meningkat atau tidak, dilihat dari tingkat kepuasan. Data primer dikumpulkan melalui Organizational Capacity Assessment (OCA), Customer Satisfaction Survey (CSS), and Qualitative study. Evaluasi dilihat lebih dari persepsi masyarakat. Dimensi pemerintahan yang dilihat adalah accountibility, responsiveness, participation, dan transparency. Kategori kepuasan yang digunakan adalah menggunakan acuan dari Menpan.

Pada waktu pemberian capacity building ternyata di dinas kesehatan peningkatannya sangat rendah daripada yang dilakukan di puskesmas. Hal yang paling kurang adalah di dalam hal transparency dan participation. Capacicty building setelah dilakukan di Papua sangat meningkatkan kepuasan pasien, misalnya dari jam buka Puskesmas. Intervensi ilmu yang baru meskipun dengan keterbatasan dari institusi sudah dianggap berhasil.


Creating the right to access to quality health care for the poor: A case study at a restructured hospital with no-class wards policy in Indonesia

Oleh: Budi Aji

Hak untuk mengakses pelayanan kesehatan di RS tanpa kelas yang dilakukan di RS di Kulon Progo. RS di Indonesia “berkelas” misalnya kelas I,II,III, VIP. Kalangan yang mampu akan mengakses ke pelayanan kesehatan di RS swasta yang bagus tetapi jika orang yang miskin akan mengakses ke RS di kelas III yang murah. Apakah ada gap kualitas di dalam hal ini?

Di Kulon Progo pada tahun 2012 membuat RS tanpa kelas. Ada peningkatan admission rate sebesar 43,42% yang sebelumnya 39,60% pada tahun 2011 dan mencapai 56,35% pada tahun 2013.
Penelitian ini menggunakan 6 alat analisis yaitu Non-discrimination, Physical accessibility, Economic accessibility, Information accessibility, Prompt attention, Adequate treatment. Penelitian dilakukan secara case study. Penelitian dilakukan dengan cara melakukan wawancara terhadap pengguna pelayanan kesehatan di RS, penentu kebijakan di daerah seperti manager, dinas kesehatan, pimpinan daerah serta dilakukan FGD terhadap tenaga profesional di RSUD.

Hasilnya menunjukkan kebijakan tanpa kelas di rumah sakit menurunkan diskriminasi pada pasien sehingga meningkatkan kepuasan pasien terhadap pelayanan yang diberikan oleh pihak RS. Selain itu, kebijakan tersebut meningkatkan angka utilisasi masyarakat sehingga dapat mendukung pelaksanaan JKN untuk mencapai UHC. Kebijakan tanpa kelas di RS dapat meningkatkan jaminan kualitas pelayanan kepada pasien sehingga memberikan kepercayaan pasien terhadap RS dan memberikan hak pasien serta dapat untuk mengembangkan clinical pathway.

 

Reporter: Tiwi

[tabby title=”Pnl 5″]

Government’s Role Trend & Policy

panel-goverment-role

Dari kiri ke kanan: Dr. Dumilah (Moderator), Dr. Armansyah, Prof. Supasit

Dr. Dumilah selaku moderator membuka panel sesi pertama diskusi rangkaian kongres InaHea hari kedua yang dimulai tepat pada pukul 13.00 WIB. Panel diskusi yang bertema “Goverenment Role” ini diisi oleh pembicara dari Dr. Armansyah dari Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan mengenai arah kebijakan tarif INA-CBGs. Prof. Supasit Pannarunothai dari Center for Health Equity Monitoring Foundation, Thailand. Masing-masing pembicara menyampaikan materinya terlebih dahulu lalu berikutnya dibuka termin tanya jawab peserta.

Pembicara pertama Dr. Armansyah memulai presentasinya dengan penjelasan mengenai landasan hukum JKN. Setelah itu dilanjutkan mengenai pola pembayaran provider yang terdiri dari pembayaran retrospektif dan pembayaran prospektif. Selanjutnya materi yang disampaikan oleh Armansyah yaitu mengenai pembayaran INA-CBGs beserta perkembangan, implementasai, serta arahan kedepan. Hal yang krusial yang akan dilakukan oleh tim tarif JKN adalah update tarif INA-CBGs dan akan melakukan piloting pada tahun 2018 mengenai classifikasi ulang untuk diimplementasikan pada tahun 2019.

Prof. Supasit kembali menjadi pembicara dalam seminar panel kali ini. Supasit mengisi seminar kali ini dengan judul “Critical Analysis in the implementation of INA-CBG”. Menurutnya intervensi yang harus dilakukan oleh pemerintah (telah dilakukan oleh pemerintah Thailand) meliputi pembiayaan, pelayanan, regulasi, dan “cash tranfer”. Sebaiknya untuk mencapai suatu regulasi yang baik diperlukan data yang menunjang, dalam artian provider memberi data kepada pemerintah untuk dijadikan salah satu bahan ntuk membuat regulasi. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam konteks regulasi yaitu adanya audit regulasi, untuk perbaikan jika ada kekurangan pada suatu regulasi.

Moderator di akhir acara menyimpulkan bahwasanya diskusi kali ini tidak hanya membahas masalah makro, namun juga membahas masalah mikro yang lebih teknis. Kesempatan kali ini juga membahas mengenai road-map kebijakan, dari masa lalu, masa kini, serta forecast (meramal) kebijakan di masa depan. Pelajaran yang dapat diambil dari negara Thailand yaitu, tidak hal yang terjadi secara instan, namun harus ada langkah-langkah perjuangan. Diharapkan sebagai akademisi, praktisi, dan pemegang kebijakan dapat bersama-sama membangun sistem yang lebih baik. (PL)


[tabby title=”Pnl 6″]

Economics Evaluation

Panel enam dari rangkaian seminar nasional InaHEA hari kedua dimulai pukul 15.30-17.30 WIB berjudul “economic evaluation” dan dimoderatori oleh dono Widiatmoko. Pada sesi ini terdapat empat presentasi oral abstrak yang terdiri dari


Health-Related Quality of Life of Indonesian Type 2 Diabetes Mellitus outpatients using the EQ-5D-5L instrument with the Indonesian TTO value set

Penulis : Bustanul Arifin; Antoinette D.I. van Asselt; Fredrick Dermawan Purba; Qi Cao; Lusiana Idrus; Jarir At Thobari; Paul F.M. Krabbe; Maarten J. Postma
Penyaji : Bustanul Arifin

Masyarakat di Indonesia banyak yang tidak sadar jika terkena penyakit DM dan setiap tahunnya mengalami peningkatan. Bustanul mengatakan bahwa dalam penelitian yang dilakukan bersama rekan-rekannya yang menggunakan EQ-5D-5L instrument karena banyak negara sudah menggunakan instrument tersebut tapi masih jarang yang melakukannya di Indonesia. Menurut Bustanul, Indonesia mempunyai karakteristik wilayah yang berbeda untuk wilayah bagian timur dan wilayah bagian barat sehingga diperlukan pengukuran yang berbeda. Bustanul berharap kedepannya penelitian ini dapat diteruskan dengan membandingkan antara 3L dan 5L sehingga dapat diperoleh bukti dan tools untuk masyarakat Indonesia lebih memilih yang mana.


Cost and Outcome Of Hemodialysis Class B And Class C Hospital

Penulis : Firda Tania; Hasbullah Thabrany
Penyaji : Firda Tania

Firda-Tania

Firda Tania

Penyakit gagal ginjal mengalami penigkatan dan ditanggung oleh JKN. Penyakit ini juga memerlukan pengobatan yang sering sehingga perlu diperhitungkan cost dan outcome. Pada presentasinya Firda menjelaskan bahwa Rumah Sakit dengan tipe B memiliki tingkat pelayanan kesehatan lebih baik dibandingkan dengan Rumah Sakit tipe C, namun secara spesifik tidak ada perbedaan persyaratan untuk melakukan hemodialysis (HD) dari segi sarana prasaran, jumlah tenaga kerja dan hal lainnya yang berkaitan dengan pengobatan. Tidak ditemukannya kasus rujukan dalam penerimaan pasien HD, jadi Firda mengatakan “tingkat keparahan rumah sakit dengan tipe A sebagai RS rujukan tertinggi belum tentu memiliki tingkat keparahan penyakit gagal ginjal yang lebih parah dari RS kelas B atau kelas lainnya”.
Jaminan Kesehatan Nasional memberikan kemudahan akses bagi pasien untuk melakukan HD karena semuanya ditanggung oleh JKN, berbeda dengan sebelum adanya JKN yang mana pasien gagal ginjal tidak sering melakukan HD karena terkendala biaya. Firda menjelaskan bahwa dari segi perspektif RS tidak terdapat perbedaan dalam penyelenggaraan hemodialisis tapi biaya tarif CBG’s berbeda berdasarkan tipe RS. Kesimpulan yang disampaikan Firda adalah tidak ada bukti yang memperlihatkan bahwa pengeluaran biaya BPJS yang lebih tinggi akan menghasilkan outcome yang lebih baik, sehingga sebaiknya melakukan revisi tarif tanpa membedakan tipe RS, tapi lebih menitikberatkan pada jenis kepemilikan rumah sakit apakah itu RS swasta atau RS pemerintah.


The Analysis of Funds Efficiency on Tuberculosis High Burden Country

Penulis : Estro Dariatno Sihaloho; Adiatma Y.M Siregar
Penyaji : Estro Dariatno Sihaloho

Estro-Dariatno-Sihaloho

Estro Dariatno Sihaloho

Tuberculosis menjadi penyakit yang endemic di dunia dengan penderita yang cukup banyak. Indonesia merupakan salah satu negara penderita TB tertinggi di dunia, banyak penderita yang berasal dari negara-negara berkembang dan negara-negara miskin. Menurut Estro, “semakin tinggi prevalensi  maka tingkat kematian menjadi lebih tinggi”. China memiliki prevalensi TB yang lebih rendah tapi mengeluarkan total funding yang lebih besar jika dibandingkan dengan Indonesia yang memiliki prevalensi tingg tapi mengeluarkan total funding lebih kecil dengan jumlah US$ 55 juta. Hasil ini menimbulkan pertanyaan “apakah pemerintah serius menuntaskan TB di Indonesia”, kata Estro. Rekomendasi ke depannya bagi pemerintah diharapkan dapat mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan pajak rokok semahal-mahalnya dan mengeluarkan biaya untuk tobacco control yang lebih besar.

 


The costs of establishing vaccine manufacturing facilities in middle income countries: an economic evaluation

Penulis : Syarifah liza munira, Jan Hendriks, Ines Atmosukarto, Martin H. Friede, Yijuan Chen, Louise Carter, Archie clements
Penyaji : Syarifah liza munira

Syarifah-liza-munira

Syarifah liza munira

Pembicara pada sesi terakhir dihari ke-2 dari rangkaian seminar nasional InaHEA ke-3 memaparkan tentang penelitiannya bersama rekan terkait dengan supply vaksin dari produsen lokal di negara-negara berkembang, karena setengah dari supply vaksin yang ada masih masuk dalam immunization programs globally. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman untuk advokasi kepada pemangku kebijakan dalam memberikan dukungan pengembangan penggunaan vaksin dari produsen lokal di negara berkembang.

Reporter : Rani Kusuma (RK)

[tabby title=”Pnl 7″]

Universal Health Coverage Policy

Oral Session ke 2 dimoderatori oleh Adiatma Siregar. Pemaparaan pertama berjudul Analisis Equitas Pelayanan Kesehatan Rawat Inap di daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan di Era JKN oleh Wahyu Nugrahaeni. Dijelaskan peneliti bahwa wilayah DTPK belum optimal dalam ketersediaan dalam hal sarana dan prasarana pelayanan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji equitas di wilayah DTPK. Hasilnya adalah hanya 1,85% yang memanfaatkan pelayanan kesehatan di wilayah DTPK. Sebagai gambaran demografi, pemanfaatan rawat inap di wilayah DTPK adalah di wilayah perkotaan, hal ini dikarenakan pembangunan pelayanan kesehatan di daerah perkotaan. Lebih lanjut kesimpulan yang disampaikan peneliti adalah setelah JKN dalam 1 tahun adalah masih adanya ketimpangan/inequitas di wilayah DTPK. Rekomendasi dari hasil penelitian ini adalah perlu percepatan fasilitas kesehatan layanan sekunder/rujukan dan penyediaan tenaga kesehatan di wilayah DTPK.

Emiko Masaki

Emiko Masaki

Pemaparan ke-2 oleh Emiko Masaki yang memaparkan Fiscal Space for UHC: Global Experience and Options for Indonesia. Indonesia adalah alah satu negara yang Out of Pocket tertinggi di Asia. Pada pemaparan ini dijelaskan ada 5 pilar Fiscal space untuk kesehatan diantaranya adalah kondisi makroekonomi yang kondusif, sector kesehatan yang menjadi priorita sdalam anggaran pemerintah, meningkatkan efisiensi, peningkatan sector spesifik untuk meningkatan penambahan sumber daya dan evaluasi pendanaan dari sector spesifik contohnya Global Fund. Pemaparan oral selanjutnya oleh Mahlil Ruby yang memaparkan Dinamika Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional Mahlil menjelaskan dalam mencapai UHC 2019 perlu adanya kebijakan yang mendukung, komponen dalam mencapai UHC (Universal Health Coverage) adalah iuran cukup, benefit memadai dan rendah OOP (Out Of Pocket). Lebih lanjut Mahlil menjelaskan Implementasi UHC 2019 di Indonesia hanya sekedar populasi coverage. Dalam pemaparannya ada beberapa perubahan kebijakan dalam mendukung UHC yaitu dari dimensi governance, perluasan kepesertaan, kecukupan dan kesinambungan iuran, proteksi finansial, efisiensi dan mutu. Dijelaskan juga dalam implementasi JKN maka perlu dikembangkan kebijakan anti fraud namun pelaksanaan di indonesia masih sulit dalam penerapannya.

Peserta Oral session terakhir adalah Vini Aristianti yang meneliti efek Jaminan Kesehatan Nasional terhadap Pengeluaran Kesehatan Katastrofik. Tujuan penelitian ini adalah mengukur efek program JKN terhadap risiko pengeluaran kesehatan yang melebihi batas kemampuan rumah tangga ketika menggunakan pelayanan kesehatan rawat inap. Dijelaskan hasil penelitian ini adalah

dengan program JKN maka akan meningkatkan utilisasi pelayanan rawat inap diantara rumah tangga yang memiliki lansia dan/atau orang sakit/cacat. Program JKN masih belum terlihat mengurangi risiko pengeluaran kesehatan katastrofik diantara rumah tangga dengan lansia dan/atau orang cacat. Sehingga rekomendasi akhir adalah menjalankan program promotif dan preventif sehingga rumah tangga yang mempunyai lansia dan/ orang cacat meningkat status kesehatannya.

Reporter : Dewi A

[tabby title=”Pnl 8″]

Provider Payment System

Edhie-Rahmat

Edhie Rahmat

Sesi ini berlangsung di ruang Arjuna, dimulai sejak pukul 15.30 WIB sampai dengan 17.30 WIB dengan moderator  Deni K Sunjaya. Sesi kedua dibuka oleh penyajian dari Edhie Rahmat yang memaparkan tentang Hospital care quality in Indonesia UHC: Accreditation or payment system?. Indonesia saat ini masih berupaya dalam mempertahankan kualitas perawatan medis, karena jumlah RS umum dan swasta yang terakreditasi kurang dari 30%. Program JKN yang dilaksanakan pada 2014, menjadi tantangan untuk pengadaan RS yang saat ini belum merata. Pada tahun 2019, RS nantinya akan memberikan akses pelayananan kesehatan medis yang komprehensif dan berkualitas untuk 250 juta jiwa. USAID Indonesia didukung Kementerian Kesehatan memulai proses dalam mencapai akreditasi internasional untuk sembilan rumah sakit tipe A pada tahun 2013, dengan mengadopsi kriteria JCI menjadi akreditasi nasional, dan akreditasi ISQUA untuk badan akreditasi nasional (KARS). Kajian dilakukan selama 4 tahun untuk mengevaluasi proses akreditasi dan dampak di rumah sakit yang memiliki akreditasi berbeda. Hasil kajian menunjukkan bahwa rumah sakit dengan akreditasi internasional memiliki kualitas yang lebih baik daripada yang lain. Pada pelaksanaan JKN, terjadi peningkatan kunjungan pasien tanpa dibarengi dengan peningkatan kualitas rumah sakit. Kemenkes berencana mengakreditasi setidaknya satu RS di 500 kabupaten pada 2019. Kredensialing sebagai syarat kerjasama rumah sakit umum dan swasta dengan JKN belum terlaksana dengan baik. Insentif belum ada untuk rumah sakit yang melakukan akreditasi, dan sistem pembayaran DRG membuat pembayar tidak bisa memantau kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit

 


Nurul-Jannatul-Firdausi

Nurul Jannatul Firdausi dan Joys Karman Niken Palup beserta moderator Deni K Sunjaya

Penyaji kedua, Nurul Jannatul Firdausi dari Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya memaparkan kajian tentang Bed Management, Apakah Menjadi Kebutuhan di Era JKN?: Tantangan Rumah Sakit untuk Menjamin Keberlanjutan Layanan. Implementasi JKN yang sudah memasuki tahun ketiga masih menghadapi banyak tantangan. Masalah yang sering dikeluhkan peserta JKN adalah waktu tunggu lama, termasuk transfer pasien dari IGD ke rawat inap. Faktor utama meningkatnya waktu tunggu adalah ketersediaan tempat tidur di ruang rawat inap. Hasil kajian ini menunjukkan 82,2% pasien adalah pengguna jaminan kesehatan (37,8% PBI, 44,4% Non PBI)dengan kelas perawatan III sebesar 44,4%. Waktu tunggu transfer pasien dari IGD tidak menunjukkan perbedaan antara peserta JKN dan pasien yang membayar sendiri, yaitu lebih dari 30 menit dikarenakan pasien menunggu kamar yang sesuai. System bed management yang belum optimal, proses pemulangan pasien, persiapan kamar dan kondisi tempat tidur menyebabkan waktu tunggu rawat inap. Tentunya hal ini menghambat aliran pasien rawat inap, maka diperlukan pengembangan sistem bed management yang terintegrasi dan dapat diakses oleh pihak terkait.


M.-Faozi-Kurniawan

M. Faozi Kurniawan

M. Faozi Kurniawan menjadi penyaji ketiga yang memaparkan tentang Kebijakan Pemanfaatan Dana Sisa dan Dana Kompensasi dalam Monitoring Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pelaksanaan JKN yang sudah berjalan, menjadi isu menarik sebagai dasar monitoring dan evaluasi kebijakan. Penting untuk melakukan analisis klaim dan iuran kepesertaan yang mencerminkan pemerataan akses pelayanan kesehatan. Prinsip gotong royong menjadi terbalik karena alokasi dana sisa dari NTT dipergunakan di Jawa Tengah yang kekurangan dana. Selama tahun 2014, besaran klaim di RSUD Bajawa Rp 7,68 miliar dan RSUD Umbu Rara Meha Rp 14,37 miliar. Pemanfaatan klaim INA-CBG’s tahun 2014 didominasi oleh peserta JKN Non PBI kelas 1 dan kelas 2 yang tentunya bukan masyarakat miskin. Besaran dana sisa di Kabupaten Ngada berkisar 47% dan Kabupaten Sumba Timur 32%. Pada kajian ini belum didapatkan pemanfaatan dana kompensasi, hal ini dipengaruhi kurangnya koordinasi antar lintas sektor di level daerah. Pemerintah seharusnya lebih bijak dalam menginvestasikan dana untuk pengadaan fasilitas kesehatan.


Penyaji keempat, Joys Karman Niken Palup dari BPJS Kediri memaparkan kajian tentang Investigating The Underlying Factors of Inpatient Service Level Upgrading among BPJS Participants. Pelaksanaan JKN membuat kunjungan rawat inap rumah sakit meningkat seiring dengan permintaan yang tinggi dalam hal peningkatan pelayananan kesehatan. Kajian ini bertujuan untuk menggambarkan peningkatan pola naik kelas rawat inap dengan indikator sosial ekonomi untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang mendasarinya. Kajian ini melibatkan enam rumah sakit di Kediri Timur yang berkerjasama dengan BPJS untuk mengevaluasi tren peningkatan dan analisis pemanfaatan pelayanan naik kelas rawat inap tahun 2013-2014. Hasil kajian menunjukkan bahwa jumlah kasus rawat inap pada tahun 2014 telah meningkat dibandingkan tahun 2013. Dua puluh pasien yang naik kelas, 10% ke kelas VIP. Responden yang memiliki kemauan untuk meningkatkan kelas perawatan sebesar 52%. Kemauan tinggi untuk layanan naik kelas sebagian besar dipengaruhi oleh kualitas privasi yang tersedia di rumah sakit dan tarif yang dirasakan tidak mahal maupun kemampuan untuk membayar serta tingkat layanan yang lebih tinggi ketika dibutuhkan. Kualitas dan standar tarif pada tingkat yang sama dari layanan di seluruh rumah sakit diperlukan untuk mengevaluasi premi asuransi untuk status ekonomi menengah ke atas serta menjamin kesesuaian tingkat pelayanan dan ekuitas.


Kajian terakhir yaitu tentang Financing Model of Inpatient Services in Nirlaba Hospital, Rumah Sakit Sehat Terpadu Dompet Dhuafa yang ditulis oleh Riastuti Kusumawardani, Fajar Ariyanti dari  UIN Syarif Hidayatullah. Penyelenggaraan pelayanan rujukan rumah sakit umum di Indonesia masih didominasi oleh sektor swasta dalam penyediaannya. Rumah sakit Nirlaba adalah salah satu penyedia pelayanan kesehatan swasta yang tidak mengutamakan keuntungan dan merupakan mitra sangat penting untuk pemerintah khususnya sektor kesehatan. Penerima manfaat pelayanan rawat inap RS DD mencapai 3259 penerima dan terus bertambah setiap tahunnya. Pembiayaan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh RS DD melalui penerimaan donasi zakat, infaq dan shadaqah dompet dhuafa dan pasien BPJS. Revenue Collection RS DD pada tahun 2014 berasal dari klaim BPJS, Dompet Dhuafa berupa dana ZISWAF dan Fundraising. Ditahun 2015, terdapat revenue tambahan berasal dari sisa dana klaim BPJS 2014 karena pelayanan 2014 masih didanai 100% dari DD untuk operasional RS. Pola berintegrasi dan bersinergis dengan program JKN, dan pengguna diikutsertakan sebagai peserta BPJS. Alokasi biaya besar pada pelayanan medis terutama obat dan alat kesehatan. Penguatan sistem pelayanan rumah sakit untuk pelayanan RS secara komprehensif sehingga setiap unit saling berkaitan, seperti sebuah sistem yang bekerja secara berkesinambungan. Perbaikan pola tarif diperlukan dengan mempertimbangkan aktivitas yang dilakukan.

Reporter : Dwi Meliastuti

[tabby title=”Pnl 9″]

Good Governance II

Gambaran Obat Generik Dan Obat Dengan Merk Dagang Pada Realisasi Berdasarkan Data E-catalogue Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa (LKPP) Tahun 2014-2015

Penyaji: Ary Dwiaji

Sejak dimulainya JKN, faskes untuk pengadaan obat dengan menggunakan e-purchasing melalui ecatalog yang sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa dan Surat edaran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) No. 167 Tahun 2014. Kategorisasi dalam proses lelang yang dilakukan LKPP akan berdampak pada obat yang tayang pada e-catalogue serta jumlah dan volume yang ada pada realisasinya. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi realisasi dari kategorisasi obat generik melalui data e-catalogue tahun 2014-2015.

Penelitian ini adalah penelitian evaluasi menggunakan data realisasi LKPP tahun 2014-2015. Selain itu dilakukan wawancara dengan pegawai LKPP yang berwenang dalam penyusunan e-catalogue. Analisis dilakukan dengan menghitung perbedaan realisasi pada kelompok obat generik dan obat dengan merk dagang. Pasien diharapkan tidak lagi membeli obat sendiri, akan tetapi pada kenyataannya pasien masih banyak yang membeli obat sendiri.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa di dalam e-catalogue, pada tahun 2014 terdapat 73 perusahaan obat dan 800 (50,3% generik, 49,7% obat merk dagang) jumlah molekul obat dan di tahun 2015 79 perusahaan dan 795 (40,4% generik, 59,6% obat merk dagang) jumlah molekul obat. Temuan lainnya adalah nilai volume realisasi pengadaan obat lewat e-catalogue 2014 sejumlah Rp 1.199.009.238.280, – (72% generik, 28% merk dagang) untuk 1.928.496.189 satuan obat terkecil (98% generik, 2% merk dagang) dan 2015 sejumlah Rp 3.201.442.822.229, – (48% generik, 52% merk dagang) untuk Rp 3.175.775.412 satuan obat terkecil (97% generik dan 3% merk dagang). Berdasarkan dari hasil wawancara didapatkan bahwa masalah terbesar dalam e-catalogue terdapat pada RKO dan HPS.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa belum terjadi keselarasan antara waktu penetapan Fornas dengan waktu penetapan e-catalogue. Realisasi obat dalam e-catalogue menunjukkan adanya perbedaan antara volume jumlah obat dengan volume rupiah pada kelompok obat generik dan obat dengan merk dagang. Saran dalam penelitian ini adalah perlu menyepakati alur dan jadwal penyusunan e-catalogue, serta memperbaiki sistem penetapan RKO dan HPS.


Capitation Fund Management Of The Indonesian National Health Insurance

M. Faozi Kurniawan1, Budi Eko Siswoyo

Penelitian ini dilakukan di 20 distrik dari  7 regional. Kepesertaan JKN di puskesmas masih mendominasi jumlahnya, akan tetapi tren perkembangannya lebih banyak di puskesmas. Hal ini berpengaruh terhadap distribusi dana kapitasinya. Puskesmas BLUD lebih maksimal mendapatkan dana kapitasi daripada puskesmas non BLUD. Penerimaan dana kapitasi di DPP dan klinik merasa besaran dana kapitasinya masih kecil, sedangkan pihak puskesmas merasa dana kapitasi yang mereka peroleh sudah cukup. Penerimaan dana kapitasi per bulan di puskesmas BLUD bisa mencapai Rp 70 juta. Dana kapitasi bisa sampai ke puskesmas bisa dalam waktu yang lama karena proses tranfer.

Puskesmas BLUD sudah mengenal RBA, sehingga di puskesmas bisa menentukan atau merencanakan penganggarannya. Klinik pratama mengelola sendiri untuk dananya. Tren utilisasi rasio masih relatif aman, meskipun masih didominasi oleh klinik pratama. Trend rujukan sudah mulai turun. Klinik pratama jika dilakukan rata-rata terhadap dana kapitasi yang diperoleh mencapai Rp 78.000. Puskesmas cenderung enggan untuk menerapkan kebijakan yang berasal dari pusat. Mereka masih menunggu adanya peraturan dari pemerintah daerah.

Klinik dana lebih banyak untuk pelayanan yaitu sekitar 45%. DPP penentuan dana jasa pelayanan dengan menunggu dana sisa terlebih dahulu. Di puskesmas dana kapitasi diperuntukkan untuk obat akan tetapi masih sebesar 33%. Tantangannya adalah kapitasi masih kurang untuk penerapan pelayanan selama 24 jam, persepsi yang salah terhadap benefit package untuk kegiatan promotif dan preventif, panduan untuk pemanfaatan dana kapitasi, kurangnya sosialisasi pengelolaan dana kapitasi, kurangnya tenaga untuk mengelola P-care.


The Implementation of Smoke-free Law in Bali: Economic Impact among Hotels and Restaurants

I K Suarjana

Prevalensi perokok di Bali saat ini ialah 31,0%. Sejak 2012 Bali menerapkan peraturan kawasan bebas rokok. Daerah bebas rokok: tempat pendidikan, sekolah, transportasi, tempat kerja, tempat bermain anak, tempat umum termasuk hotel dan restoran. Dilakukan studi kepatuhan secara kesuluruhan sebesar 17%. Tujuannya adalah untuk melihat dampak ekonomi terhadap penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok. Penelitian dilakukan secara case study terhadap 5 hotel dan 4 restoran di Denpasar dan Badung. Sampel penelitian dilakukan secara purposive sampling terhadap 10 orang manager, 10 orang karyawan dan 10 orang pengunjung. Pengumpulan data dilakukan secara indepth interview, survei dan penggunaan checklist.

Hasil penelitian ini diperoleh bahwa hotel dan restoran sudah menempelkan slogan dilarang merokok, memisahkan area tempat merokok dan tidak merokok. Persepsi dari pengunjung, manager dan karyawan mendukung adanya perda tersebut. Karyawan juga ada yang meminta untuk disediakan “smoking room”. Pendapatan juga semakin meningkat sejak diterapkannya perda tersebut. Pendapatan sebenarnya tidak tergantung dari diterapkannya perda tersebut tetapi dipengaruhi oleh faktor lain seperti kualitas pelayanan. Tingkat kepatuhan dari Perda ini sudah mencapai 60%.


Transitioning Externally-funded Health Programs In Indonesia: Critical Areas To Ensure Program Sustainability

Pandu Harimurti

Transisi ekonomi untuk pembiayaan kesehatan.  Transisi ekonomi dengan melihat total health spending. Transisi alah suatu mekanisme suatu negara beralih dari pembiayaan luar negeri ke pembiayaan domestik. Sustainability merupakan bagaimana suatu negara bisa mempertahankan hasil dari program yang sudah diperoleh.

Status ekonomi Indonesia yang sudah mulai memabik dari tahun 1997 – 2015  membuat bantuan dana dari luar negeri menjadi semakin menurun. Perbaikan status ekonomi Indonesia membuat Indonesia tidak berhak lagi mendapatkan bantuan dana hibah dari luar negeri misalnya dari GAFI maupun dari World Bank. TB dananya sebesar 70% berasal dari luar negeri. Implementasi JKN harus memperhatikan konteks pembiayaan dan pelayanan.


RS Berbentuk BLU: Berapa Besaran Proporsi Obat dan BHP?

Yunita, Kurnia Sari

Pengeluaran kesehatan meningkat setiap tahunnya, hampir 30% berasal dari biaya obat. RS sebagai salah satu penyedia pelayanan kesehatan perlu melakukan pengelolaan komponen obat dan BHP. Tujuannya adalah untuk mengetahui rata-rata proporsi obat dan BHP di RS BLU terhadap total alokasi RS pada tahun 2015. Metode penelitiannya secara deskriptif kualitatif. RS yang diteliti adalah RS vertikal Kemenkes. Data yang dianalisis merupakan data sekunder APBN tahun 2015.

RS BLU sumber pembiayaannya berasal dari rupiah murni dan BLU. RS yang besar pengeluarannya adalah RS Sardjito, RS Sanglah dan RS Ludiro Husodo pengeluaran terbesarnya adalah untuk pembelian obat. RS Kanker, RSKO dan RS Kusta sebagian besar pembiayaan obat bukan dari BLU tetapi berasal dari rupiah murni. Semakin banyak permintaan pelayanan kesehatan di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), hal ini mengakibatkan semakin besar kebutuhan Obat & BHP.

Reporter: Tiwi

[tabby title=”Pnl 10″]

JKN Evaluation

sesi-oral-10

Dari Kiri ke Kanan: Yulita Hendartini, Febrina Siregar, Gemala Chairunnisa P, Chriswandari Suryawati

Sesi presentasi oral yang bertema evaluasi JKN dibuka oleh Muttaqien, MPH selaku moderator. Seni ini merupakan sesi oral panel ke-10 dalam sesi presentasi oral rangkaian kegiatan kongres ketiga InaHea. Presentasi pertama diisi oleh Febrina Siregar dari Universitas Indonesia, dengan presentasi yang berjudul Analisis Kepuasan Pelanggan Puskesmas Danau Indah Bekasi di Era JKN Tahun 2015. Tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh Febrina yaitu untuk mengetahui gambaran indeks kepuasan masyarakat terhadap mutu pelayanan kesehatan Puskesmas Danau Indah Bekasi pada tahun 2015. Temuan dari penelitian tersebut yaitu secara umum kualitas pelayanan di unit rawat jalan dipersepsikan baik pasien PBJS di Puskesman Danau Indah Bekasi, nun belum dalam tingkatan prima.

Pembicara kedua dalam presentasi oral ini yaitu Dr. drg. Yulita Hendartini, M.Kes, AAK mengenai penelitiannya yang berjudul Evaluasi Kinerja FKTP di ERA JKN. Latar belakang dari penelitian yang dilakukan Yulita yaitu managed care dimana pelayanan primer merupakan ujung tombak dari pengendalian biaya, disisi lain sebaran peserta yang terdaftar di FKTP sangat beragam . Dr. drg. Yulita, M.Kes, AAK menyebutkan bahwasanya terdapat gap atau kesenjangan antara kepesertaan antara Puskesma denganb jumlah FKTP. Hal yang menarik dalam penelitian ini bahwasanya data tidak hanya diambil dari FKTP milik pemerintah, namun diambil juga dari FKTP swasta yaitu dokter praktek. Temuan yang menarik dalam penelitian ini adalah sebagian besar FKTP beban kerjanya belum optimal. Melalui penelitian ini beliau merekomendasikan agar dialkukan penyesuaian jumlah kepesertaan dengan jumlah FKTP, BPJS Kesehatan diharapkan mendorong pemerataan dokter di FKTP, dan perlunya evaluasi terhadap Peraturan BPJS No. 2 Tahun 2015 mangenai penetapan norma kapitasi.

Presenter ketiga pada sesi oral kali ini disampaikan oleh Chriswardani Suryawati dari FKM Universitas Diponegoro mengenai penelitiannya yang berjudul Implementasi JKN di Rumah Sakit Tahun 2015 (studi kasus di RSUD Kota Semarang). Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan permasalahan yang terkait dengan implementasi JKN di RSUD Kota Semarang dari berbagai aspek (kepesertaan, keuangan, pelayanan, organisasi) dari hubungan kerjasama antara BPJS Kesehatan dan RSUD Kota Semarang. Hasil umum yang sangat menarik dalam penelitian ini yaitu jumlah kunjungan pasien meningkat signifikan baik pada rawat jalan maupun jawat inap. Hal ini menjadi pertanyaan yang sangat menarik untuk didiskusikan. Saran dari penelitian tersebut yang juga memicu perbincangan lebih lanjut yaitu mengenai keberadaan Jamkesda ataupun Jamkesmaskot.

Gemala Chairunnisa Puteri dari Universitas Indonesia merupakan pembicara terakhir pada sesi oral mengenai evaluasi JKN, penelitian yang beliau presentasikan berjudul Tingkat Kepuasan Peserta JKN Tahun 2015, yang bertujuan mengetahui tingkat kepuasan kepuasan peserta JKN Tahun 2015. Secara umum hasil penelitian tersebut yaitu tingkat kepuasan peserta JKN masih rendah (kurang dari 50%), kepuasan peserta PBI lebih tinggi daripada non-PBI. Menarik, moderatorpun menyebutkan bahwa penelitiantersebut ternyata berbeda dengan data survey kepuasan yang dilakukan oleh BPJS. (PL)




Reporter : Putri Listiani

[tabbyending]

[tabby title=”Plenary 3″]

Preventive Health Programs  in Social Health Insurance

Pleno-3-Hari-3

Suasana Pleno

Kegiatan hari terakhir Kongres InaHEA yang ke-tiga, Plenary III dibuka oleh Dr. drg. Mardiati Najib, MS selaku moderator. Sesi ini akan diisi oleh empat pembicara dari berbagi sektor, yaitu dari Kementrian Kesehatan, WHO, instansi swasta (Muhammadiyah), dan dari perwakilan profesi (IAKMI). Direktur Penyakit Tidak Menular Kementrian Kesehatan, dr. Lili Sriwahyuni Susilowati,MM menyampaikan materi pertama mengenai Upaya Preventif dalam JKN. Awal dari presentasinya, dr. Lili menyebutkan bahwasanya pola epidemis penyakit pada tahun 2010 berubah dari tahun 1990, artinya penyakit-penyakit yang sekarang mendominasi yaitu penyakit tidak menular. Meningkatnya penyakit tidak menular ini dikarenakan oleh penghidupan lebih baik yang menimbulkan pola hidup yang tidak sehat. Kemenkes melakukan upaya dalam pencegahan penyakit tidak menular dengan pendekatan keluarga, Puskesmas memantau melalui Usaha Kesehatan Bersama Masyarakat (UKBM). Masyarakat sehat diharapkan secara bersama mengunjungi Posbindu, adanya deteksi dini, dan masyarakat yang beresiko difollow-up untuk mendapatkan perawatan yang lebih lanjut.

Raymond Hutubessy, M.Sc, PhD menjadi pembicara ketiga dalam plenary III dengan judul “The Role of Economic Evaluation for Universal Health Coverage”. Materi yang disampaikan oleh Raymond, M.Sc, PhD yaitu mengenai tantangan dalam vaksinasi, vaksin dalam kaitannya dengan kebijakan di Indonesia dalam mencapai UHC serta bagaimana peran dari evaluasi ekonomi, bagaimana evaluasi ekonomi berkontribusi dalam merancang perencanaan strategis Kementrian Kesehatan yang efektif. Hal yang perlu ditekankan pada materi kali ini yaitu bagaimana kesiapan pembiayaan Indonesia dalam menyediakan vaksin setelah terlepas dari donor luar negeri (Gavi). Menurut Raymond, WHO menyediakan bantuan teknis berupa dokumen panduan dan alat pembuat kebijakan terkait dengan pengenalan vaksin dan sektor perencanaan yang lebih luas serta penentuan prioritas.

Pembicara ketiga yaitu dr. Sudibyo Markus dari Muhammadiyah, yang menyampaikan materi mengenai “The Implementation of Promotive and Preventive Program in Tobacco Control’. Pertama-tama dr. Sudibyo membuka presentasinya dengan pertanyaan mengapa deklarasi Alma Ata gagal, dan disertai penjelasan dari pertanyaan tersebut dengan menekankan bahwasanya selama ini intervensi medis telalu mendominasi daripada aspek pencegahan. Pemaparan selanjutya yaitu industri rokok melihat rokok tidak hanya sebagai secara fisik, namun lebih kepada suatu bentuk gaya hidup , budaya, dan produk yang menyamankan (seperti efek dopamin). Terdapat beberapa peran Muhammadiyah dalam tindakan tobacco control, diantaranya yang terpenting adalah keluarnya Fatwa Haram merokok oleh Muhammadiyah, adanya Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang didukung oleh majelis dan lembaga dari Muhammadiyah, adanya Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC). Program-program Muhammadiyah ini merupakan contoh peran privat sector dalam pengontrolan rokok di Indonesia, dan pemerintah sangat menyambut baik program-program tersebut.

Pembicara terakhir yaitu Dedi Supratman, SKM, MKM dari perwakilan profesi (IAKMI). Berdasarkan UU SJSN No.40/2004 Pasal 22, manfaat jaminan kesehatan tidak hanya berupa tindakan kuratiyf, namun juga promotif dan preventif. Hal yang perlu sangat menarik dalam materi kali ini yaitu apasajakah ranah BPJS dalam promotif dan preventif, lalu diharapkan kedepannya program-program BPJS terintegrasi dengan Kementrian Kesehatan. Seperti diketahui bahwasannya Kemenkes menyalurkan dana untuk kesehatan di bidang promotif preventif berbasis masyarakat melalui program-programnya. Usulan dalam pemaparan Dedi, SKM,MKM yaitu supaya kedepannya Puskesmas di seluruh Indonesia mempunyai tenaga fungsional dalam pelaksanaan promotif dan preventif.

Preventive Health Programs in Social Health Insurance
dr. Lili Sriwahyuni Susilowati,MM

Economics of Vaccines:The Role of Economic Evaluations forUniversal Health Coverage
Raymond Hutubessy, M.Sc, PhD

The Implementation of Promotive and Preventive Programs in Tobacco Control
dr. Sudibyo Markus

Promotive & Preventive Health Programs in Social Health Insurance
Dedi Supratman, SKM, MKM

Diskusi


Reporter: Wisnu Damarsasi
[tabby title=”Plenary 4″]

Toward Universal Health Coverage

Pleno-4-Hari-3

Suasana Pleno

Plenary pada sesi ke-4 dengan tema Toward Universal Health Coverage dimoderatori oleh Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH. Pembicara pertama oleh Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc., Ph.D yang membahas tentang innovative product to contribute to the national health insurance. Persepsi yang berkembang saat ini tentang formularium nasional yakni obat murah, obat generik, obat tidak lengkap, kualitas yang tidak bagus, dan sebagainya. Komponen dalam fornas yaitu kelas terapetik, sub kelas terapetik, item obat, dan dosis. Proses seleksinya yaitu proposal dari rumah sakit, kemudian seleksi administrasi, diskusi, dan akhirnya diskusi panel. Tantangan yang dihadapi selama ini yakni antara kebutuhan dan ketersediaan, antara mahal dan keharusan untuk kehidupan, antara ketersediaan dan penggunaan, tingkat kemanjuran untuk penyakit kronik. Dalam UU No. 40 Tahun 2004 dijelaskan bahwa daftar dan harga obat serta bahan medis habis pakai (BMHP) yang dijamin BPJS Kesehatan ditetapkan oleh pemerintah, serta jenis pelayanan yang tidak dijamin. Perpres No. 12 Tahun 2013 dijelaskan bahwa daftar, harga obat dan BMHP ditinjau kembali paling lambat 2 tahun sekali.

Pembicara kedua oleh Soonman Kwon, PhD Former Dean dari School of Publich Health, Seoul National University yang dilakukan melalui fasilitas webinar. Pajak langsung dari negara berkembang tidak progresif seperti negara maju. Equity dari tax-based pembiayaan pelayanan kesehatan pada negara berkembang tergantung dari ketersediaan dan kualitas. Permasalahan dari jaminan sosial yakni sulitnya dalam mengumpulkan premi dari sektor informal, serta mayoritas formal sektor merupakan industri kecil. Perbedaan antara single pool dan multiple pool yakni apabila single pooling memiliki kapasitas risk pooling yang lebih besar, rendahnya biaya administrasi, memiliki kekuatan untuk menawar yang lebih baik terhadap provider, contohnya yaitu di Indonesia, Korea, dan Filipina. Multiple pool yaitu minim perbedaan dalam paket manfaat dan sistem pembayaran ke provider yang sama.

Pembicara ketiga yakni Dr. Ajay Tandon dari World Bank yang membahas tentang monitoring Universal Health Coverage (UHC) in low- and middle-income countries. Pengertian UHC yang terbaru didefinisikan sebagai memastikan semua orang mendapatkan pelayanan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif sesuai dengan kebutuhan. Lebih dari 100 negara di dunia berkomitmen untuk penapaian Universal Health Coverage. UHC merupakan salah satu tujuan dari Sustainable Development Goals (SDGs) pada target ke-3 yaitu Good Health and Well-Being. WHO dan World Bank merekomendasikan indikator dalam monitoring UHC yakni untuk preventif dan promotif antara lain akses untuk kontrasepsi, cakupan ANC, akses sumber air, akses sanitasi. Treatment dilihat dari capaian ARV, pengobatan hipertensi, capaian pengobatan TB, capaian pengobatan diabetes. Finansial protection dilihat dari konsumsi masyarakat dalam out of pocket, tingkat kemiskinan masyarakat akibat pengeluaran out of pocket.

Pembicara keempat oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD yang membahas tentang JKN and equity. Prinsip dari asuransi dan keadilan yaitu penduduk yang kaya membantu penduduk yang miskin. Fenomena yang terjadi di Indonesia adalah subsidi yang salah target, karena rasio klaim tertinggi terjadi pada masyarakat yang kaya yang lebih dari 500%, sedangkan masyarakat miskin kurang dari 100%. Sistem pajak di Indonesia tidak progresif, sementara tingkat GDP tiap tahun mengalami kenaikan yang signifikan. Ketidakadilan terus meningkat dikarenakan oleh paket manfaat yang sangat banyak dan bisa dikatakan unlimited, serta premi yang saat ini terlalu rendah bagi masyarakat yang kaya atau dikenal dengan istilah PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah). Peningkatan pembangunan rumah sakit sangat pesat terjadi pada region 1 yang terdiri dari provinsi yang ada di Pulau Jawa, sedangka untuk region 5 yang merupakan provinsi di Indonesia Timur pembangunannya sangat lambat.

Pembicara terakhir oleh Prof. Barbara McPake, BA, Ph.D dilakukan menggunakan fasilitas webinar yang membahas tentang health workforce, equity and UHC. Mayoritas tenaga kesehatan pada negara-negara di Asia Pasifik memiliki rasio kurang dari 30 per 10 juta penduduk. Perbandingan tenaga kerja dengan penduduk telah ditetapkan oleh WHO pada tahun 2006 yakni 22,8 per 10.000 penduduk. ILO menggunakan standar yang lebih tinggi, perbandingannya 32 per 10.000 penduduk yang merupakan hasil benchmark di Thailand 313 penduduk untuk tiap tenaga kesehatan. Indonesia memiliki standar nasional tenaga kesehatan yakni 13,8 tenaga kesehatan per 100.000 penduduk, namun masih terdapat 8 provinsi yang di bawah standar nasional. Standar nasional untuk dokter spesialis 7,13 per 100.000 penduduk, namun mayoritas provinsi di Indonesia masih di bawah standar nasional, dan hanya 8 provinsi yang di atas standar nasional.

Innovative product to contribute to the NationalHealth Insurance
Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc., Ph.D

JKN and Equity
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD

Monitoring Universal Health Coverage (UHC) inLow-and Middle-Income Countries
Dr. Ajay Tandon

Toward UHC: Challenges in Asia
Soonman KWON, PhD

Health workforce, equity and UHC
Prof. Barbara McPake, BA, Ph.D

Diskusi

Reporter: Wisnu Damarsasi

[tabby title=”Plenary 5″]

Peran  Local Government dalam  Health Financing

Suasana Pleno

Suasana Pleno

Plenary discussion sesi ke-5 merupakan sesi yang paling terakhir dengan tema Peran Local Government dalam Health Financing dan moderator Prastuti Soewondo SE., MPH., PhD. Pembicara pertama oleh Prof. Dr. Sri Adiningsih, M.Sc Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia dengan judul Peran Pemerintah dalam Mendorong Pertumbuhan Pelayanan Kesehatan Berkualitas di Indonesia. Perubahan ke-IV UUD 1945 pada tahun 2002 Pasal 28H ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk mendapat pelayanan kesehatan, pada Pasal 34 ayat 2 negara mengembangkan sistem jaringan sosial bagi seluruh rakyat, serta pada pasal 34 ayat 3 negara bertanggung jawab dalam penyediaan fasilitas kesehatan. Sasaran pelaksanaan Program Indonesia Sehat RPJMN 2015-2019 dalam hal peningkatan pemerataan akses dan mutu pelayanan kesehatan salah satunya yakni minimal terdapat 1 Puskesmas yang tersertifikasi akreditasi pada tiap kecamatan dimana status awal 0 dan sasaran 2019 sebanyak 5.600. Indikator peningkatan perlindungan finansial dengan peningkatan jumlah penduduk yang menerima PBI melalui JKN dari status awal 86,4 juta dan sasaran 2019 107,2 juta. Peningkatan jumlah Puskesmas yang minimal memiliki 5 jenis tenaga kesehatan dari 1.015 menjadi 5.600.

Pembicara kedua oleh Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D dengan judul Indonesia on its Path to Universal Health Coverage: A Success Story and Its Challenges. Situasi UHC di Indonesia beberapa dekade yang lalu yaitu masih minimnya penduduk yang tercover asuransi hanya sekitar 11% atau sekitar 22 juta, serta masih tingginya out-of-pocket sekitar 70%. Indonesia jika dibandingkan dengan beberapa negara di ASEAN, maka kondisinya yaitu kebijakan sudah baik namun rendahnya per kapita subsidi pemerintah untuk warga miskin hanya sekitar $6 per tahun. Tenaga kesehatan di Indonesia masih tergolong rendah untuk ketersediaannya jika dibandingkan dengan negara lain terutama negara ASEAN. Rekomendasi untuk Indonesia yaitu memfasilitasi studi banding untuk pembuatan kebijakan, menyediakan wadah untuk menampung keluhan masyarakat, memulai untuk mengcover PNS serta penduduk miskin dan sektor formal.

Pembicara ketiga oleh Ahmad Ansyori, SH., M.Hum, CLA anggota dari DJSN yang membahas tentang peran pusat dan daerah dalam pembiayaan JKN. Kabupaten Subang menyelenggarakan Jamkesda menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dimana penduduk dapat langsung mengakses ke rumah sakit dengan SKTM. Pembayaran kepada rumah sakit dengan fee for service, sehingga menyebabkan selisih antara Pemda dengan biaya yang harus dibayar dengan rumah sakit dan terjadi hutang sebesar Rp. 10 milliar. Hal ini disebabkan dengan sistem tersebut maka pembiayaan kesehatan sangat besar dan tidak dapat dikontrol. Fungsi gate keeper dan PPK I tidak optimal karena tidak ada sistem rujukan berjenjang. Jamkesda yang belum terintegrasi dengan JKN akan menghambat pencapaian UHC dan sustainabilitas program JKN. Perlu peran pemerintah pusat untuk membuat regulasi dalam implementasi JKN, serta membangun sistem seperti e-catalogue, serta percepatan pemberian NIK kepada seluruh penduduk Indonesia. Peran pemerintah daerah juga diperlukan seperti pendanaan UKM karena program JKN bersifat UKP, pembayaran iuran JKN bagi masyarakat miskin di daerahnya yang belum tercakup dalam PBI nasional, menyediakan dan mendistribusikan sarana dan pra-sarana fasilitas kesehatan dan SDM kesehatan di daerah. Pengaduan masyarakat tentang program JKN dapat dilakukan ke DJSN.

Pembicara terakhir oleh Bupati Kulon Progo yang diwakili oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo dr. Bambang Haryatno, M.Kes yang memaparkan tentang peran Pemda Kulon Progo dalam pembiayaan kesehatan. Penduduk Kabupaten Kulon Progo memiliki angka harapan hidup paling tinggi dalam Provinsi DIY yakni 74,9, sementara untuk rata-rata Provinsi DIY 74,50 dan secara nasional 70,59. Angka kematian ibu setiap tahun mengalami penurunan meski terdapat kenaikan pada tahun 2013, dan pada tahun 2015 secara angka absolut kematian ibu hanya 2 orang dan jumlah ibu bersalin 5.234 orang. Angka kematian bayi meski masih di atas target, namun mengalami penurunan setiap tahun dan angka absolut pada tahun 2015 terdapat 48 kasus kematian bayi dan jumlah kelahiran hidup sebesar 5.232 bayi. Alokasi dana untuk Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2015 baik dari APBN maupun APBD penyerapannya hampir 100%. Rata-rata pengeluaran rumah tangga per tahun untuk kesehatan mencapai Rp. 230,45 milliar, namun untuk rokok juga sangat tinggi mencapai Rp. 118,26 milliar. Cakupan peserta JKN di Kabupaten Kulon Progo tahun 2016 terbanyak yakni peserta PBI yang mencapai 59%.

Peran Pemerintah Dalam Mendorong Pertumbuhan Pelayanan Kesehatan Berkualitas di Indonesia
Prof. Dr. Sri Adiningsih, M.Sc

Peran Pusat dan Daerah Dalam Pembiayaan JKN
Ahmad Ansyori, SH., M.Hum, CLA

Peran Pemerintah Daerah Kulon Progo Dalam Pembiayaan Kesehatan
dr. Bambang Haryatno Mkes

Indonesia on its Path to Universal Health Coverage: A Success Story and its Challeges
Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D

Diskusi


Reporter: Wisnu Damarsasi

[tabbyending]