[info_post_meta]
SEMINAR LEADERSHIP
“DALAM PENERAPAN SISTEM REMUNERASI DI RUMAH SAKIT”
Kamis, 19 Maret 2015
Lantai 1 Gedung RadioputroFK UGM
Pada Kamis, 19 Maret 2015 bertempat di Lantai 1 Gedung Radioputro Fakultas Kedokteran UGM telah berlangsung Seminar Leadership dalam Penerapan Sistem Remunerasi di Rumah Sakit dalam rangkaian Annual Scientific Meeting, sebagai agenda rutin tahunan untuk merayakan Dies Natalis FK UGM.
Sebagai moderator, dr. Andreasta Meliala, M.Kes, MAS menyampaikan pengantar bahwa dalam setting JKN saat ini adalah ibarat sebuah kereta maka “Semua orang boleh naik, tapi keretanya tidak dipersiapkan sebaik mungkin”. Beberapa lesson learn dari negara lain adalah Jepang yang melonggarkan syarat klaim untuk meningkatkan pendapatan RS sementara untuk di Taiwan implikasi praktis yang bisa diadopsi adalah upaya untuk menurunkan tingkat imbalan untuk menjaga unit cost di RS sementara di Thailand terjadi peningkatan beban kerja (27%) yang tidak berhubungan dengan kompensasi. Untuk Indonesia, beberapa hal yang masih harus dipertanyakan dalam sistem remunerasi adalah bagaimana agar laik dan adil? Apakah cukup dan memadai? Bagaiamana implikasi terhadap kinerja dan motivasi SDM? Bagaimana kecukupan budget-nya? Bagaimana efisiensi SDM? Apakah kinerja organisasi bisa dipertanggungjawabkan? Masalah lain adalah keterlibatan klinisi untuk ikut dalam pengembangan remunerasi masih sangat minim. Misalnya, residen sangat membantu dalam keterlibatannya di RS, namun bagaimana dengan kompensasi bagi mereka? Untuk hal-hal tersebut, Leadership para manajer RS diharapkan sebagai titik awal dalam perbaikan pada sistem remunerasi di RS. Kemudian, di akhir paparan moderator mempersilakan Dekan FK UGM untuk membuka acara tersebut.
Dalam sambutannya Prof. Dr. dr. Teguh Andono, Sp.B. (K), Onk menyambut baik seminar ini dan memaparkan bahwa Indonesia relatif baru memulai sistem remunerasi ini. Sehingga baru dicari rumusan yang tepat untuk memadukan antar jajaran klinisi dan manajemen RS, ke depannya hal ini diharapkan bisa memberi masukan yang sangat berarti bagi semua pihak.
Makalah yang pertama disampaikan oleh Direktur PPK BLU Ditjen Perbendaharaan Kemenkeu. Sebagai narasumber, Drs. Djoko Hendrato, MBA yang memaparkan tentang Konsep Remunerasi dalam Manajemen Kinerja RS. Djoko menyampaikan sebenarnya remunerasi sudah ada sejak ditetapkannya BLU RS oleh Kementrian Dalam Negeri namun kemudian, ada temuan BPK yang menyatakan bahwa pembayaran jasa layanan di BLU RS tidak memiliki payung hukum, sehingga rekomendasi BPK tahun 2014 remunerasi BLU RS harus ditetapkan oleh Kementrian Keuangan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Prinsip remunerasi adalah penetapan Key Perfomance Indicator (KPI) yang memaparkan kinerja jajaran direksi dan bagaimana kompetensi jajaran direksi. KPI terdiri atas tujuh poin antara lain kepatuhan terhadap standar pelayanan, pengendalian infeksi di RS, capaian indikator medik, utilisasi, kepuasan pelanggan, ketepatan waktu pelayanan, dan keuangan. Menurut statistic, pada umumnya pendapatan RS dari tahun ke tahun terus naik, namun bila ada yang mengalami penurunan remunerasi maka dimungkinkan ada yang belum maksimal dari 7 KPI diatas. Hal yang paling menarik adalah Keputusan Menteri Keuangan (KMK) tentang penetapan tarif layanan BLU RS mendelagasikan kewenangan Kerjasama Operasional kepada pimpinan BLU RS untuk mengembangkan layanan di RS.
Diskusi
Pertanyaan muncul dari dr. Yulis (RSUD Suradji Tirtonegoro Klaten) yang menyatakan bahwa pelaksanaan di dalam agak berkendala, metode remunerasi dari pemerintah yang terdapat batasan nominal penerimaan mengakibatkan keresahan, sedangkan saat ini ada tenaga medis yang penerimaan jasa medisnya telah melebihi batasan sesuai aturan remunerasi. Hal ini dikhawatirkan akan membuat dokter menggeser pasiennya untuk dilayani di luar RS dan RS akan mengalami kerugian, sehingga mohon KMK ditinjau kembali.
Menanggapi hal ini, direktur PPK BLU membuat pernyataan yang sangat menarik dengan mengatakan bahwa KMK aturannya untuk 7 sampai 8 jam kerja di BLU RS, di luar jam kerja harus tersebut bisa disusun payung hukum dalam frame kerjasama operasional jadi bisa tetap ada pelayanan di RS. Residen pun bisa dipekerjakan di luar jam belajarnya dan maka residen wajib untuk dibayar untuk pelayanan itu.
Menanggapi hal tersebut, Prof. Laksono Trisnantoro menyambut antusias dan menyatakan di RS perlu dipikirkan untuk membuat poliklinik sore/malam bagi para spesialis dan sub spesialis sebagai solusi untuk mendongkrak pendapatan. Untuk residen, jika faktanya memang bekerja bukan dalam rangka belajar. Jadi sebaiknya ada remunerasi untuk residen yang bekerja untuk pelayanan di RS di luar jam belajar dan disesuaikan dengan kapasitas RS dan kemuadian tetap harus dibuat payung hukum termasuk untuk residen dengan keputusan direktur RS.
Dalam diskusi selanjutnya, dijumpai permasalahan di RS Sardjito dan RS Cipto Mangunkusumo yaitu belum adanya aturan yang mengatur pelayanan di luar jam kerja dalam bentuk kerjasama operasional (KSO) dan belum ada pemisahan yang jelas bahwa residen bukan karyawan BLU sehingga dapat dibuat KSO.
Narasumber yang kedua, dr. Achmad Sujudi dengan tema “Peran Kepemimpinan dalam Mengatasi Tantangan Penerapan Remunerasi di RS”. Dalam paparannya, satu hal yang harus ditangkap dalam remunerasi ini “peluang”, remunerasi memang “tantangan” namun ada peluang di dalamnya. Kesimpulan dari paparan adalah sistem pembayaran di RS yang mengalami perubahan dengan menggunakan perhitungan INA CBG, sehingga pemberian imbalan juga mengalami perubahan (remunerasi). Sistem produksi pelayanan pun berubah dan hierarki menjadi team work. Disinilah letak tantangan kepemimpinan untuk bisa mengelola secara internal kepada karyawan dan seluruh civitas hospitalia, serta eksternal dengan menyesuaikan terhadap perubahan situasi dan kondisi yang ada.
Selanjutnya panel diskusi menghadirkan narasumber dari RS Sardjito yaitu dr. Maduseno, RS Cipto Mangunkusumo yang diwakili dr. Sumariyono, RS Jantung Harapan Kita yaitu dr. Iwan Dakota dan dari RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen yaitu dr. Finuril Hidayati. Sebagai perbandingan yang mendasar pada setiap RS adalah penerapan di setiap RS yang cukup bervariasi baik masalah maupun solusi yang diterapkan untuk mengatasi masalah tersebut. Satu hal yang menarik dari RSUD Sragen adalah pernyataan bahwa belum ada referensi hukum yang khusus mengatur remunerasi di RS milik pemerintah daerah karena seluruh aturan yang ada sekarang sebenarnya dikhususkan untuk RS milik pemerintah pusat, sehingga masih dijumpai kendala yang cukup berarti di RS milik pemerintah daerah.
Selanjutnya panel diskusi menghadirkan narasumber dari RS Sardjito yaitu dr. Maduseno, RS Cipto Mangunkusumo yang diwakili dr. Sumariyono, RS Jantung Harapan Kita yaitu dr. Iwan Dakota dan dari RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen yaitu dr. Finuril Hidayati. Sebagai perbandingan yang mendasar pada setiap RS adalah penerapan di setiap RS yang cukup bervariasi baik masalah maupun solusi yang diterapkan untuk mengatasi masalah tersebut. Satu hal yang menarik dari RSUD Sragen adalah pernyataan bahwa belum ada referensi hukum yang khusus mengatur remunerasi di RS milik pemerintah daerah karena seluruh aturan yang ada sekarang sebenarnya dikhususkan untuk RS milik pemerintah pusat, sehingga masih dijumpai kendala yang cukup berarti di RS milik pemerintah daerah.
Sesi kedua setelah makan siang dilanjutkan dengan presentasi narasumber dari PKMK, Prof. Laksono Trisnantoro memaparkan “Visi pemberian kompensasi bagi residen dan fellowship”. Dalam paparannya, visi remunerasi masih jauh dari UU No. 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran, permasalahannya adalah meski residen/fellowship sudah bekerja dalam pelayanan namun belum masuk dalam pola remunerasi. Di RS pemerintah, pemberian remunerasi menyebabkan semangat kerja sebagian dokter menurun sehingga peran direksi dan SMF sangat penting dalam menjawab permasalahan ini. Namun sesuai keterangan Direktur PPK BLU Kemenkeu pada sesi yang pertama, “Remunerasi diberlakukan kepada siapa saja yang bekerja termasuk residen bila payung hukumnya sudah ada” menjadi pernyataan yang melegakan dan peluang untuk direksi agar mengatur lebih tentang hal ini. Gambaran di Amerika, residen direkrut RS pendidikan berdasarkan kebutuhan pelayanan dan ditanggung asuransi kesehatan untuk insentifnya, sedangkan di Indonesia fakta yang ada berlawanan, sehingga berpengaruh terhadap mutu pelayanan RS pendidikan karena tidak ada insentif bagi residen yang telah bekerja. Pada kesimpulannya, Prof. Laksono menyatakan perlu manajemen risiko agar direksi dan spesialis tidak mengalami masalah hokum dan mengusulkan kebijakan residen/fellow harus dibayar sesuai kompetensinya dan diberikanclinical priviledge.
Menanggapi paparan tersebut, para pembahas adalah dr. Saiful Fatah (Ikatan Residen FK UGM RSUP Dr. Sarjito) menanggapi dengan paparan fakta bahwa posisi residen menjadi tidak jelas, apakah peserta didik atau pekerja? Jika peserta didik tapi bimbingan dirasakan tidak maksimal dan jika sebagai bekerja tapi tidak dibayar. Kemudian dr. Risantio (Ketua Komite Medik RS UGM) setuju remunerasi untuk residen tapi RS UGM belum menerima co-ass maupun residen karena baru dalam proses penjajagan walaupun demikian infrastruktur untuk residen/co-ass sudah disiapkan dan mengusulkan legalitasnya perlu dicantumkan di medical by law. dr. M. Syafak Hanung, Sp.A (Direktur Utama RS Sardjito) memaparkan bahwa jenjang dalam residensi yang berbeda-beda dan belum adanya aturan yang jelas menjadikan kendala dalam remunerasi ini. Penerapan remunerasi di RS Sardjito dalam bentuk insentif bagi residen yang jaga di VIP, bukan sebagai tugas pendidikan, insentif juga diberikan kepada residen yang tugas di lapangan saat kunjungan RI 1 dan 2 dan pada program sister hospital.
Menanggapi pembahasan di atas Prof. Laksono menggarisbawahi bahwa fakta di lapangan memang kerap terbentur dengan aturan hukum yang ada, sehingga dibutuhkan keberanian jajaran direksi untuk mengambil keputusan.
Presentasi terakhir dari dr. Yulis yang mewakili direktur dirjen BUK Kememetrian Kesehatan dengan judul materi “Idealisme dalam Pengembangan Sistem Remunerasi di RS Vertikal”. Disampaikan bahwa urgensi remunerasi salah satunya karena terkait temuan BPK hingga tahun 2013 pemberian remunerasi kepada pegawai RS BLU belum mendapat persetujuan dan penetapan Menkeu, masih menggunakan peraturan direksi masing-masing BLU sehingga bisa jadi masalah pidana. Urgensi lainnya adalah dalam rangka peningkatan kinerja pelayanan dan keuangan BLU RS. Dalam paparan lanjutnya hal yang perlu diperhatikan meliputi penguatan direksi dan tim remunerasi di RS, pedoman pelaksanaan remunerasi pada masing masing RS, pemahaman remunerasi kepada masing masing pegawai, evaluasi penilaian jabatan secara komprehensif, sistem penilaian kinerja baik secara individual maupun unit, penggunaan pendapatan RS untuk remunerasi, dan monev pelaksanaan remunerasi. Kemudian pembahasan seluruh materi ini akan menjadi bahan yang dilaporkan kepada pembuat kebijakan di Kemenkes.
Pembahasan atas pemateri kemudian disampaiakan oleh Prof. Dr. Arif Faisal (Direktur RSA UGM) sebagai pembahas dari sisi dari kepemimpinan manajerial. Dalam pembahasannya, disampaikan bahwa sistem pembagian remunerasi dipengaruhi dua hal yaitu aturan dan kesepakatan yang berlaku. Efek remunerasi dapat berupa perbaikan kesejahteraan, dorongan untuk berkembang, masalah, bahkan respon negatif disinilah kemudian dibutuhkan peran leadership dengan regulasi oleh manajemen RS serta Komite Medik yang mewakili kelompok medis, Komite Kperawatan mewakili kelompok perawat.
Selanjutnya, dr. Nurdadi Saleh (Ketua Perastuan Obstetri Ginekologi Indonesia/POGI) sebagai pembahas, dari sisi kepemimpinan klinis menyatakan bahwa pengaplikasian penilaian dalam sistem remunerasi sangat sulit karena faktor yang dinilai sangat kompleks. Total target kinerja sangat sulit diukur dalam pelayanan medis yaitu “Risiko Medis” sehingga remunerasi masih sangat gamang dirasakan oleh jajaran klinis. Faktor lain yang sulit dihitung adalah masalah penuntutan pidana maupun perdata serta sanksi disiplin. Dokter sebagai penyedia jasa layanan medis menilai sesungguhnya sistem yang sudah ada itu lebih berkeadilan (sistem persentase jasa pelayanan sehingga remunerasi perlu dievaluasi ulang terkait penghitungan jasa layanan.
Di akhir seminar, kesimpulan disampaikan oleh Prof Laksono, antara lain ada perubahan ideologi yang harus dipahami yaitu kebijakan remunerasi yang merupakan hal baru yang mempunyai pro dan kontra, beberapa aspek yang belum diperhatikan, termasuk remunerasi bagi PPDS1 dan PPDS2, ruang perbaikan diantaranya adalah yang bekerja di luar jam kerja perlu disusun peraturan dalam bentuk KSO dan remunerasi untuk residen, diperlukan kepemimpinan di kelompok spesialis dan direksi, yakni orang yang visioner yang mampu membaca proyeksi di masa depan sehingga mampu membuat antisipasi yang meminimalkan kerugian di semua pihak sehingga remunerasi merupakan goncangan budaya sehingga diperlukan pemikiran visioner agar jangan sampai membuat keputusan jangka pendek yang merugikan lembaga dan diri sendiri.
Pembukaan |
Peran Kepemimpinan Dalam Mengatasi Tantangan Penerapan Remunerasi Di Rumah Sakit
|
Konsep Remunerasi Dalam Manajemen Kinerja Rumah Sakit |
Idealisme DalamPengembangan Sistem Remunerasi di Rumah Sakit |
Diskusi Panel |
Visi Pemberian Kompensasi bagi Residen dan Peserta Felowship Dasar Hukum,Keadilan, Pengembangan Ilmu dan Rujukan, Pengalaman Internasional, serta Etika Kepantasan |
Penutup |
Reporter : Tri Yuni Rahmanto & Edna Novitasari