Latar Belakang
Kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan dapat membuat orang gugup karena berbagai alasan. Beberapa yang dirasakan oleh kelompok rentan seperti orang dengan HIV dan populasi kunci adalah merasa tidak nyaman mengungkapkan informasi sensitif pada petugas kesehatan. merasa takut informasi terkait status kesehatannya akan menyebar ke lingkungan sekitar setelah kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan dan mendapat stigma dan diskriminatif saat di layanan kesehatan. Pada Orang dengan disabilitas, fasilitas pelayanan kesehatan belum semuanya menyelenggarakan layanan yang ramah bagi difabel sebagai contoh: belum semua Puskesmas dan Rumah Sakit di Indonesia dilengkapi dengan jalur khusus difabel, dan tidak ada juru bahasa isyarat yang ditempatkan di layanan kesehatan.
Menciptakan layanan dan lingkungan fasilitas kesehatan yang dipercaya dan nyaman bagi pasien adalah salah satu tujuan penting dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Oleh karena mendapat layanan kesehatan secara layak dan sama adalah hak semua orang, maka petugas kesehatan harus siap melayani pasien dari semua suku, ras, agama, usia, ragam kondisi fisik dan latar belakang sosial. Ketika pasien memiliki pengalaman buruk seperti mendapat stigma dan diskriminasi dari petugas hanya karena pasien berpenampilan berbeda, memiliki orientasi seksual berbeda, atau memiliki disabilitas fisik atau mental, besar kemungkinan pasien akan menyembunyikan informasi penting tentang kesehatannya. Yang lebih buruk lagi adalah mereka tidak akan datang kembali ke fasilitas kesehatan hingga putus pengobatan.
Praktek inklusif dalam pelayanan kesehatan adalah layanan yang mengacu pada akses, interaksi pasien-petugas dan perlakuan yang adil bagi pasien dalam mengakses layanan kesehatan. Profesionalitas petugas kesehatan dalam memberikan layanan tidak hanya berlaku pada pasien umum saja tetapi juga pada pasien dari populasi yang rentan mengalami stigmatisasi seperti orang dengan disabilitas, orang dengan HIV, transgender, waria, WPS, penasun, LSL, dan lain-lain. Mereka juga termasuk dalam kelompok yang memiliki kerentanan lebih tinggi di masa Pandemi COVID-19 terkait penyakit penyerta (seperti HIV, TB), masalah ekonomi, hingga diskriminasi dari lingkungan sosialnya.
Mengingat puskesmas merupakan “pintu depan” sistem kesehatan yang memberikan landasan bagi penguatan kesehatan di masyarakat, maka penguatan layanan inklusif bagi semua pasien di masa pandemi COVID-19 sangat diperlukan. Seminar ini dapat meningkatkan literasi, mengangkat contoh pengalaman di lapangan mengenai praktik-praktik pelayanan kesehatan yang inklusif terutama dalam konteks Pandemi COVID-19.
Tujuan
- Menyajikan pengalaman dan pembelajaran (lesson learned) secara langsung dari lapangan mengenai upaya puskesmas dalam menyediakan layanan inklusif bagi kelompok rentan (misal pasien TB, HIV, Orang dengan disabilitas, dll) di masa Pandemi COVID-19
- Memperkuat strategi dalam upaya mengembangkan layanan kesehatan yang inklusif
Sesi Pembukaan
Gambaran umum dan Kerangka pikir kegiatan
Dr. Dra. Retna Siwi Padmawati, MA (Ketua Pusat Perilaku dan Promosi Kesehatan)
Diskusi Panel 1: Harapan dan Tantangan Membangun Layanan Kesehatan yang Inklusif di Puskesmas
Poin-Poin Kunci Diskusi: Pengalaman masyarakat mengakses layanan kesehatan di puskesmas, Sikap masyarakat terhadap ODHA dan populasi kunci, Tantangan membangun layanan kesehatan yang inklusif, Harapan membangun layanan kesehatan yang inklusif
Narasumber: Kepala Puskesmas Tegalrejo, Kepala Puskesmas Mantrijeron, Lurah Gedongkiwo, Lurah Bener, Kader Warga Peduli AIDS Kelurahan Bener, Kader Warga Peduli AIDS Kelurahan Gedongkiwo
Sesi Panel 2: Best Practice Upaya Mewujudkan Layanan Kesehatan Inklusif di Puskesmas bagi Penyandang Disabilitas
Hak Penyandang Disabilitas dalam Mengakses Layanan Kesehatan
Wuri Handayani, SE., Ak., M.Si., M.A., Ph.D.
Bagaimana agar fasilitas layanan kesehatan dapat diakses oleh Penyandang Disabilitas?
dr. The Maria Meiwati Widagdo, Ph.D.
Sesi Penutup
Kesimpulan
Dr. Dra. Retna Siwi Padmawati, MA (Ketua Pusat Perilaku dan Promosi Kesehatan)