Pengembangan/Upgrade Sistem Informasi Akuntansi dan Penghitungan Biaya Pelayanan TB di RS

[info_post_meta]

pserta

Tantangan Program Penanggulangan TB di Rumah Sakit Indonesia

Tingkat prevalensi (prevalency rate) dan kejadian (incidence rate) Tuberkulosis (TB), yaitu 297 dan 185 per 100.000 penduduk, Indonesia masih menduduki posisi keempat, negara dengan beban kasus TB yang tinggi secara global (WHO, 2013). Meskipun kemajuan yang luar biasa dari program pengendalian TB nasional, Indonesia menghadapi ancaman baru, yaitu epidemi TB-MDR. Data resmi MDR-TB mencatat 1,9% dari kasus TB baru dan 12% MDR-TB dari kasus TB lanjutan (WHO, 2013). MDR-TB sangat memungkinkan terjadinya peningkatan morbiditas dan mortalitas dikarenakan TB dan menjadi beban yang lebih tinggi dari sistem pelayanan kesehatan.

Initiatif Public-Private Mix yang melibatkan rumah sakit di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1999 dan secara nasional terus ditingkatkan sejak tahun 2003 hingga sekarang. Evaluasi sebelumnya mengungkapkan bahwa rumah sakit memberikan kontribusi yang signifikan untuk pendeteksian dan pelaporan kasus TB (Irawati et al, 2007). Di sisi lain, evaluasi lain juga menunjukkan sub-optimal manajemen kasus TB di rumah sakit dan bahkan kehilangan kesempatan-kasus TB didiagnosis dengan baik dan dipantau dalam sistem rumah sakit (Probandari et al, 2010). Ada hambatan dalam melaksanakan standar internasional untuk mendiagnosis, pengobatan TB di beberapa layanan kesehatan (Utarini et al, 2006). Dengan demikian, peningkatan layanan TB dalam hal kualitas klinis sangat penting sebagai upaya untuk mencegah epidemi TB-MDR.

Upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas layanan TB di rumah sakit telah dilakukan dengan memberikan pelatihan kepada rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan (dokter umum, spesialis paru, spesialis penyakit dalam, dan sebagainya) pada program pengendalian TB dan pelaksanaan ISTC. Namun, Monitoring Mission Joint External pada 2001 mencatat bahwa upaya itu tidak cukup mempengaruhi kualitas layanan klinis TB di rumah sakit. Lembaga ini sangat merekomendasikan pendekatan regulasi yaitu dengan akreditasi. Rekomendasi ini telah dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan sejak tahun 2013.

Dari sudut pandang rumah sakit, soal laik, efektif dan efisien untuk penanganan kasus TB dan manajemen kasus MDR-TB di rumah sakit masih relevan. Upaya untuk meningkatkan kualitas manajemen kasus TB harus dimasukkan dalam sistem perbaikan klinis di rumah sakit. Seluruh upaya peningkatan kualitas klinis akan diarahkan pada peningkatan efisiensi pelayanan.

Hasil dari ‘Sustainable Hospital Delivery and Management System for TB/MDR-TB (HDMS) Phase 1’

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Universitas Gadjah Mada (UGM- CHPM) bekerja sama dengan Otsuka Foundation, telah mengembangkan pilot dan menerapkan model inovatif manajemen rumah sakit untuk kasus TB/TB-MDR. Fase 1 kegiatan ini dilakukan selama 2013, yang bertujuan untuk menganalisis masalah-masalah TB dan manajemen kasus TB-MDR saat ini di rumah sakit.

Temuan dari HDMS Fase 1 menunjukkan bahwa belum maksimalnya pelaksanaan standar internasional (ISTC) untuk pelayanan TB, diskontinuitas pelayanan TB dan kasus TB-MDR, masalah pengendalian infeksi serta sistem rujukan untuk TB-MDR. Hasil ini sungguh sangat mengkhawatirkan, dan mendorong kita untuk berupaya peningkatan kualitas klinis pada TB dan pelayanan TB-MDR. Temuan dari Fase 1 ini  juga menunjukkan bahwa biaya dan pelayanan TB dan TB-MDR sangat beragam dan sangat disayangkan bahwa inefisiensi pelayanan sangat sulit untuk dapat disimpulkan.

Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk pengembangan sistem pengelolaan data pembiayaan dalam rangka meningkatkan efisiensi layanan TB dan TB-MDR. Inisiatif untuk meningkatkan, baik sistem manajemen mutu dan sistem manajemen data pembiayaan untuk kasus TB dan TB-MDR diusulkan melalui proyek ‘Sustainable Hospital Delivery and Management System for TB/MDR-TB Fase 2 (HDMS Fase 2)’.

Strategi Intervensi

Untuk meningkatkan pengelolaan keuangan rumah sakit kami berencana untuk strategi intervensi:

  1. Analisis biaya berdasarkan clinical pathway TB/MDR-TB
  2. Mengembangkan/upgrade sistem informasi akuntansi ( AIS )

Intervensi ini akan dilakukan di tiga RS, yaitu RS Bethesda, Yogyakarta, RS Islam Jakarta dan RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta.

Analisis biaya akan diawali dengan mengidentifikasi alur pasien berdasarkan clinical pathway dan pedoman pelayanan klinis terbaru. Setelah itu langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi jumlah sumber daya yang terlibat dan yang tersedia dalam alur pasien dan mengidentifikasi biaya untuk setiap sumber daya yang terlibat. Langkah terakhir adalah menganalisis biaya per pasien.

Untuk mengembangkan sistem informasi akuntansi, diperlukan kesediaan RS yang bersangkutan, karena kegiatan ini akan menelusuri proses bisnis RS yang umumnya merupakan informasi sensitif dan sangat confidential. Oleh karena itu, kegiatan ini hanya akan dilakukan apabila RS ang terlibat bersedia. Langkah-langkahnya meliputi pemetaan sistem informasi akuntansi yang ada, mengembangkan atau memperbarui kebijakan akuntansi, mengembangkan atau memperbarui SOP akuntansi untuk pendapatan, biaya dan persediaan. Setelah itu, ada proses implementasi dari SOP dan alur yang telah diperbarui tersebut dan kemudian evaluasi di akhir periode. Ini merupakan siklus pertama dari intervensi. Hasil evaluasi akan digunakan untuk memperbaiki SOP dan alur informasi untuk kemudian diimplementasikan kembali dan dievaluasi. Ini merupakan siklus kedua, yang dirancang sebagai siklus terakhir dari periode intervensi ini. Kegiatan direncanakan berakhir pada Oktober 2015.

Biaya dan Tarif

pserta2Dampak dari peningkatan biaya kesehatan tentunya dirasakan oleh masyarakat pengguna layanan di RS. Lembaga pembayar dan penyelenggara pelayanan kesehatan terutama rumah sakit. Untuk itu, rumah sakit dituntut untuk mampu mengelola keuangannya secara efisien dan efektif sehingga dapat mengoptimalkan kinerja dengan dana yang ada.

Informasi biaya menjadi hal yang penting, karena dengan adanya informasi ini pihak pimpinan akan dapat menilai kinerja setiap instalasi guna peningkatan kinerja di masa datang.  Di samping itu, informasi biaya khususnya unit cost juga bisa dijadikan dasar dalam penetapan tarif pelayanan di rumah sakit. Jika rumah sakit ingin menciptakan pembiayaan yang optimal dan mutu yang baik, seharusnya tarif yang ada harus bisa mencerminkan realitas biaya yang terjadi.

Namun RS dan komunitas kesehatan pada umumnya seringkali salah kaprah terhadap istilah biaya dengan tarif. Biaya tidak sama dengan tarif. Biaya adalah sumber daya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk atau layanan tertentu, sedangkan tarif adalah harga yang dikenakan bagi konsumen atau pengguna atas produk atau pelayanan yang dikonsumsi. Jadi tarif adalah biaya, tapi dari perspektif pengguna. Kesalahan perepsi ini pada akhirnya memicu timbulnya kesalahan dalam perlakuan terhadap biaya dan tarif. Misalnya pada tarif INA-CBGs, jika lebih besar dari tarif RS maka dianggap menguntungkan, sebaliknya, jika lebih kecil akan dianggap merugikan.

Oleh karena itu, RS masih memerlukan pelatihan mengenai penghitungan biaya pelayanan, untuk mampu mengidentifikasi biaya yang sebenarnya terjadi untuk menghasilkan pelayanan, dalam hal ini untuk menangani kasus TB/MDR-TB. Pelatihan dilaksanakan di RS Bethesda dan RS Islam Jakarta pada Desember 2014, dan RSUP Dr. Sarjito yang rencanannya akan dilaksanakan pada Januari 2015.

Pelatihan ini bertujuan untuk mengenakan template penghitungan biaya berdasarkan clinical pathway, melatih peserta untuk mengidentifikasi dan menganalisis pelayanan langsung maupun tidak langsung sesuai dengan clinical pathway tersebut dan mengawali proses identifikasi biaya tersebut. Peserta pelatihan bukan hanya kepala dan staf Bagian Keuangan, namun juga klinisi dan penanggung jawab dan staf yang mewakili beberapa unit pelayanan yang terkait, misalnya rawat jalan, rawat inap, laboratorium dan sebagainya